Permohonan Peninjauan Kembali Wisni Yetti Dikabulkan Mahkamah Agung, Korban KBGO dan Pelanggaran Privasi Akhirnya Bebas Dari Jeratan UU ITE
Wisni Yetti adalah seorang ibu rumah tangga yang terjerat kasus UU ITE atas laporan mantan suaminya sendiri, Hasta Etika pada 17 Februari 2014. Wisni Yetti ditangkap polisi di rumahnya di Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada Minggu, 19 Oktober 2014. Dari Solok, Wisni diterbangkan ke Jakarta. Senin 20 Oktober 2014 pagi kemudian dibawa ke Bandung melalui jalan darat. Sesampainya di Polda Jawa Barat, Wisni langsung ditahan selama 6 hari.
Kasus ini sebenarnya berawal dari laporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT yang diajukan Wisni Yetti ke kepolisian. Ia sendiri telah mengalami kekerasan sejak tahun 1994 dan baru berani melaporkan pada 2013. Namun kemudian dibalas dengan laporan sang suami ke polisi menggunakan UU ITE dengan bukti percakapan inbox Facebook ibu Wisni dan temannya dengan dugaan melakukan perbuatan asusila sesuai pasal 27 ayat 1 UU ITE dengan ancaman penjara 6 tahun penjara atau denda 1 miliar rupiah.
Percakapan yang dilaporkan ini sebenarnya terjadi pada Oktober 2011, saat Wisni Yetti menjalin komunikasi dengan Nugraha Mursyid teman SMP di Solok melalui fasilitas chatting di facebook. Diam-diam Haska Etika ‘membobol’ facebook istrinya pada Oktober 2011, lalu melakukan print out dan menggandakan hasil Chatting tersebut. Pada 2014, Haska lalu melaporkan isi chatting Wisni ke Polda Jabar dengan tuduhan mendistribusikan dan mentransmisikan kalimat atau bahasa yang bersifat asusila dengan menunjukkan hasil print out percakapan di Facebook.
Namun dari fakta persidangan berdasarkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Forensik dari Bareskrim Polri Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus No. 47-III-2014-Cyber tanggal 10 Maret 2014, bahwa bukti yang telah di print out tidak ditemukan dalam inbox facebook Wisni. Dalam persidangan terbukti bukti cetak (print out) percakapan ibu Wisni dengan teman Facebook-nya yang diserahkan ke pengadilan ternyata berbeda dengan percakapan aslinya. Bahkan saksi yang mengaku mencetak percakapan itu mengaku kalau bukti yang dibawa ke pengadilan berbeda dengan bukti yang dia cetak. Dari total 200 lembar bukti percakapan yang dia cetak, yang muncul di persidangan adalah 900 lembar percakapan. Hal ini membuktikan kebenaran kesaksian Wisni Yetti bahwa memang terjadi percakapan, tetapi tidak ada unsur asusila/pornografi seperti yang dituduhkan pelapor.
Hal lain yang perlu dicatat dari kasus Wisni Yetti ini adalah adanya pelanggaran privasi. Perolehan bukti juga terindikasi terjadi pelanggaran pidana karena bukti chat diambil oleh Hasta Etika (yang juga merupakan pelapor) secara tanpa hak dan melawan hukum dari sistem elektronik pribadi miliki Wisni.
Sekalipun demikian, pada Selasa 31 Maret 2015, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan terdakwa Wisni Yetti terbukti bersalah atas tuntutan pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik tentang pendistribusian asusila. Wisni diputuskan menjalani pidana penjara 5 bulan dan denda Rp 100.000.000,- subsider 6 bulan. Putusan hakim lebih tinggi dari tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum pada sidang sebelumnya 4 bulan penjara dan denda Rp 10.000.000,-
Sementara kasus KDRT yang dilaporkan ibu Wisni berhenti di tengah jalan. Kemudian Wisni YettiYetti dan pendamping hukum dari LBH Pers mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Vonis Pengadilan Tinggi pada 3 September 2015 membebaskan ibu Wisni dari segala tuduhan.
Lalu giliran jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada Juni 2016 dan pada 8 Desember 2016, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi tersebut. Wisni Yetti kembali dikatakan terbukti bersalah telah melakukan tindakan pidana seperti yang dituduhkan. Pada bulan November 2018, Wisni Yetti mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi MA dan akhirnya pada 19 Januari 2019, Mahkamah Agung mengabulkan PK Wisni Yetti dan ia bebas dari hukuman.
Atas dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) Wisni Yetti oleh Mahkamah Agung, Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara memberi mengapresiasi keputusan MA tersebut karena memenuhi rasa keadilan yang dibutuhkan oleh Wisni Yetti.
Wisni Yetti adalah salah satu kasus dimana perempuan bisa berulang kali menjadi korban termasuk di dunia siber. Ia adalah korban KDRT, korban pelanggaran privasi, dan sekaligus korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) ketika rekayasa teknologi informasi digunakan untuk menjerumuskan dirinya ke dalam penjara. SAFEnet mengucapkan selamat kepada ibu Wisni Yetti yang selama ini telah menjadi penyintas UU ITE dan semoga kebebasan yang didapatkan bisa memberi semangat bagi para korban UU ITE lain yang saat ini masih berjuang.
SAFEnet juga memberikan ucapan terima kasih yang mendalam bagi kolega dan mitra yang ikut memperjuangkan kebebasan Wisni Yetti, terutama kepada Paguyuban Korban Undang-Undang ITE (PAKU ITE) yang telah memberi dukungan moral, juga kepada jaringan Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) & Koalisi Internet Tanpa Ancaman (KITA) yang terdiri dari: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) , Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) , ICT Laborary fo Social Change (ILAB) , Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) , Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Medialink, Offstream, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Public Virtue Institute (PVI), Remotivi, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Satudunia, Yayasan TIFA, LBH Jakarta, MAPPI FH UI, IDOLA, ICT Watch, KPJKB Makassar, LBH Pers Padang, LBH Bandung, AJI Yogyakarta, AJI Surabaya, Sloka Institute Denpasar. Juga terima kasih kepada media-media yang selama ini meliput dan dukungan publik yang luas pada kasus ini.
Denpasar, 21 Februari 2019