Kemarin pada hari Kamis, 24 Januari 2019, aktivis anti-korupsi Mohammad Trijanto menjalani sidang perdana pencemaran nama di Pengadilan Negeri Blitar. Trijanto dilaporkan ke polisi oleh Agus Cunanto, Pegawai Negeri Sipil di Pemkab Blitar, yang melaporkan ke Polres Blitar pada 17 Oktober 2018 dengan tuduhan Trijanto telah melakukan pencemaran nama baik menurut Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE dan perbuatan menimbulkan keonaran menurut pasal 14 dan pasal 15 UU Nomer 1 Tahun 1946 dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Pelaporan Agus Cunanto yang sebetulnya mengatasnamakan Bupati Blitar, Drs. H.Rijanto, MM ini direspon cepat oleh pihak polisi dengan melakukan aksi penangkapan dan selanjutnya penahanan Trijanto di tahanan Polres mulai tanggal 10 Januari 2019. Setelah 4 hari ditahan di polres Blitar, berkas pemeriksaan dianggap lengkap (P21) dan dilimpahkan ke kejaksaan. Trijanto sempat ditahan 2 hari di kejaksaan, kemudian kasusnya langsung dilimpahkan ke PN Blitar. Lalu mulai tanggal 24 Januari 2019 sampai sekarang, Trijanto menjadi tahanan selama proses persidangan di Pengadilan Negeri Blitar berlangsung
Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet sebagai organisasi yang berjuang melindungi hak-hak digital warga di Asia Tenggara, berpandangan ada banyak kejanggalan dalam kasus ini.
Kejanggalan pertama adalah dasar pengaduan kasus ini. Pelaporan kasus pencemaran nama baik haruslah berdasar delik aduan sesuai dengan penjelasan dalam revisi UU ITE No. 19 Tahun 2016. Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka aduan yang diajukan oleh Agus Cunanto, Pegawai Negeri Sipil di Pemkab Blitar menjadi janggal karena Agus Cunanto bukanlah orang yang dirugikan langsung oleh tindakan Trijanto. Dalam isi postingan yang dilakukan oleh Trijanto lewat akun facebooknya, tidak ada nama Agus Cunanto sehingga ia tidak bisa dianggap sebagai korban yang mengalami kerugian pencemaran nama.
Kejanggalan kedua adalah hanya Trijanto yang dijadikan tersangka. Dalam kasus pencemaran nama, berlaku delik aduan absolut (absolute klacht delict). Itu berarti baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolut ini mempunyai akibat hukum dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Oleh karena penuntutan ini tidak boleh dipisah-pisahkan sesuai asas onsplitbaar, maka seharusnya Yosi dan Tiyon yang pertama kali memberikan informasi adanya surat pemanggilan KPK kepada Trijanto seharusnya ikut turut menjadi pihak yang diperiksa dan bahkan juga dijadikan tersangka pelaku pencemaran nama baik ini.
Kejanggalan ketiga adalah absennya proses kehati-hatian dalam memeriksa kelengkapan berkas. Tidak terpenuhinya syarat delik aduan absolut dalam pengaduan pencemaran nama dan makna keonaran yang dalam hukum pidana diartikan “lebih hebat daripada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan juga memuat keonaran” dalam pelaporan kasus ini seharusnya disikapi oleh pihak kejaksaan dengan mengembalikan berkas ini kepada kepolisian, tetapi hal ini sepertinya tidak dilakukan. Bahkan selama dua hari Trijanto ditahan, kejaksaan terkesan tidak berupaya memeriksa berkas-berkas dengan teliti. Malah patut diduga kejaksaan terburu-buru melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Negeri Blitar.
Atas sejumlah kejanggalan ini, SAFEnet berharap majelis hakim di Pengadilan Negeri Blitar untuk bekerja imparsial, memeriksa dengan hati-hati dan memutuskan secara teliti berdasarkan setiap keterangan ahli dan fakta persidangan sehingga diharapkan majelis hakim bisa cukup jelas melihat bahwa Mohammad Trijanto tidak patut disidangkan dan karenanya layak dibebaskan dari tuntutan hukum.
Denpasar, 25 Januari 2019
Southeast Asia Freedom of Expression Network