SAFEnet Meminta Pemerintah Indonesia Segera Melindungi Aktivis Anti Korupsi Mohammad Trijanto
Mohammad Trijanto adalah aktivis anti korupsi kota Blitar yang aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di kota Blitar dan sekitarnya. Saat ini ia tergabung di Komite Rakyat Pemberantasan Korupsi (KRPK). Sejak 12 Oktober 2018, ia menghadapi upaya tuntutan pencemaran nama baik secara daring lewat pasal karet UU ITE yaitu pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE dan perbuatan menimbulkan keonaran menurut pasal 14 dan pasal 15 UU Nomer 1 Tahun 1946.
Kasus ini bermula dari postingan Mohammad Trijanto yang memuat foto surat panggilan KPK kepada Bupati Blitar. Ia menyertakan keterangan dua kali perubahan. Postingan terakhir setelah ia edit tertulis, “Sesuai informasi (hoax atau tidak ya???), Bupati Blitar akan dipanggil menghadap penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada hari Senin, 15 Oktober 2018 di gedung KPK Jakarta. Kira-kira Bupati Blitar dimintai keterangan terkait dugaan korupsi apa ya?? Tebak-tebakan yuk!!! Lawan Korupsi!!! (((Makanya kalau jadi pejabat jangan sekali-kali melukai kaum petani, nelayan, honorer dan kaum marginal lainnya di Blitar Raya, bisa meyesal tujuh turunan deh hehehhehehe)))”, demikian tulisnya pada 12 Oktober 2018 di media sosial Facebook miliknya sendiri.
Trijanto memosting hal tersebut terkait dengan aduannya ke Kantor BPK Kabupaten Blitar atas dugaan korupsi Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) APBD Kabupaten Blitar Tahun 2018 pada 5 Oktober 2018 dan informasi yang didapatnya pada 10 Oktober 2018 berupa pesan whatsapp dari Kontraktor bernama Yosi tentang surat pemanggilan KPK kepada salah satu staf PUPR dan Bupati Blitar tentang adanya dugaan korupsi.
Keesokan harinya, 11 Oktober 2018, Yosi kembali mengabari Trijanto dengan kiriman gambar berupa surat panggilan KPK untuk Retiono Pratama, staf PUPR Kabupaten Blitar. Sorenya, Retiono Pratama menemui Trijanto terkait kegundahannya karena ia menerima surat pemanggilan KPK di ruangannya. Retiono membenarkan bahwa ia akan dipanggil KPK tanggal 12 Oktober 2018. Trijanto pun memberi saran kepada Retiono untuk menghadapinya dengan tenang.
Itulah yang menjadi alasannya memposting foto surat pemanggilan KPK yang ditujukan kepada Bupati Blitar. Namun pasca pemuatan, pihak wartawan menyebarkan kiriman Trijanto dan menjadi viral di media sosial. Sore hari, salah seorang wartawan mengkonfirmasi ke KPK dan dijawab bahwa surat tersebut palsu. KPK tidak pernah mengirimkan surat tersebut kepada Bupati Blitar. Malam harinya, Trijanto menuliskan postingan terbaru untuk mengklarifikasi postingan yang terlanjur viral tersebut dan juga menceritakan pertemuannya dengan Retiono Pratama pada 11 Oktober lalu.
Namun, seminggu setelah postingan tersebut beredar, Trijanto dilaporkan ke polisi oleh Agus Cunanto, Pegawai Negeri Sipil di Pemkab Blitar. Ia dilaporkan pada 17 Oktober 2018 di Polres Blitar dengan tuduhan pelanggaran peraturan hukum pidana dan pencemaran nama baik dalam Pasal 14 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE. Kini, setelah upaya pra-peradilan untuk menemui pelapor dan terlapor ditolak oleh hakim pada 20 Desember 2018, Trijanto harus bersiap menghadapi proses lanjutan pelaporannya.
Terhadap kasus yang dihadapi Trijanto, Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet sebagai organisasi yang berjuang melindungi hak-hak digital warga di Asia Tenggara, berpandangan bahwa Mohammad Trijanto dipolisikan untuk tindakan yang tidak memenuhi unsur pidana. Kebebasan Trijanto untuk mengungkapkan ekspresinya sebenarnya sudah dilindungi dan dijamin negara dalam Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945. Selain menjadi hak konstitusional individu, kebebasan berpendapat juga dapat ditemui dalam Pasal 14, Pasal 23, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 serta pada Kovenan Internasional Sipil dan Politik (SIPOL) PBB Pasal 19 yang tertuang pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.
“Yang dilakukan Trijanto adalah upaya melakukan klarifikasi kepada publik atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi. Bahwa ia memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan mengembangkan informasinya kepada publik dan harus dilindungi oleh hukum. Kini, ia malah ditakut-takuti dengan pembungkaman ekspresi telah terjadi dengan melaporkan Trijanto dengan Pasal 45 Ayat (3) jo Pasal 27 Ayat (3) Tentang Pencemaran nama baik dan perbuatan melakukan keonaran yang ancaman pidananya 10 tahun penjara.,” ungkap relawan SAFEnet Nabillah Saputri.
Penentuan delik pada Pasal 27 Ayat (3) yang ditunjukkan kepada Trijanto juga tidak jelas. Pada dasarnya, Pasal 45 Ayat (3) jo Pasal 27 Ayat (3) merupakan delik aduan yang dalam prosesnya berdasarkan kepada korban, seperti yang didasari oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009. Namun, pelapor Agus Cunanto bukanlah korban langsung dari kasus ini.
Lalu pasal 14 UU 1/1946 ayat 1 yang berbunyi ‘Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun’. Lalu bunyi ayat 2 pasal 14 UU 1/1946 ‘Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapatmenyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun’. Keduanya mensyaratkan harus terjadinya keonaran di masyarakat yang dilerai oleh polisi lebih dahulu dan bisa dibuktikan unsur-unsur keonarannya.
“Atas dasar itu penerapan pasal-pasal pidana pada Trijanto ngawur dan dipaksakan. Penolakan pra-peradilan untuk mempertemukan pelapor dan terlapor tidak memberikan kesempatan Trijanto meluruskan apa yang menjadi tuntutannya. SAFEnet yakin tidam ada upaya pencemaran nama baik terhadap siapapun karena postingannya. Karenanya Trijanto harus segera dibebaskan.”
Atas pertimbangan di atas, SAFEnet meminta:
- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Informasi dan Informatika/ Kominfo untuk meninjau kembali kasus Trijanto terhadap Pasal 45 Ayat (3) jo. Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang ITE yang telah menimbulkan multitafsir bagi aktivis yang ingin melakukan klarifikasi di depan publik namun dilaporkan atas pencemaran nama baik. Pasal ini perlu segera dihapus agar tidak terus-menerus disalahgunakan.
- Komnas HAM segera memberikan perlindungan kepada Trijanto karena dugaan pelanggaran hak berpendapat yang dilindungi oleh Pasal 14, Pasal 23, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 serta pada Kovenan Internesional Sipil dan Politik (SIPOL) PBB Pasal 19 yant tertuang pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.
- Pengadilan Negeri Blitar untuk memeriksa dan meninjau kembali bukti-bukti otentik berdasarkan kuasa hukum. Beri keringanan kepada Trijanto untuk menghadirkan saksi ahli yang diajukan oleh Trijanto dan kuasa hukumnya serta mempertimbangkan pernyataan saksi ahli tersebut.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menindaklanjuti dugaan korupsi yang berada di lingkungan Kabupaten Blitar. Kasus Trijanto mengindikasikan adanya upaya korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dengan membiarkan Trijanto diproses cepat untuk dituntut atas kasus pencemaran nama baik.
- Organisasi masyarakat sipil di Blitar dan seluruh Indonesia untuk memberikan dukungan dan bantuan yang dibutuhkan Trijanto untuk mendapatkan keadilan.
- Masyarakat luas untuk membuka mata bahwa kasus pencemaran nama baik kerap disalahgunakan untuk menjatuhkan warga sipil yang ingin mengajukan klarifikasi di depan publik. Karenanya masyarakat diajak untuk meminta penghapusan pasal tersebut dari kitab hukum pidana.
Denpasar, 8 Januari 2019