Tahun 2009, sebuah kasus impersonasi menimpa mahasiswi perguruan tinggi ternama di Jakarta. Foto-foto dari akun Facebook-nya dicuri dan diunggah sebagai foto prostitusi yang menawarkan jasanya di Blogspot, berikut ditulis dengan nomor ponsel pribadinya. Reputasinya rusak, martabatnya dilecehkan oleh impersonatornya. Tidak kurang, ia masih harus menghadapi banyaknya telepon yang menanyakan “jasa prostitusinya”.
Kasus ini selesai tanpa masuk ke ranah hukum. Saat itu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) baru memasuki tahun pertama. Jika menggunakan Pasal 27 Ayat 1 terkait konten yang melanggar kesusilaan, bisa saja diproses, tapi kerumitan kasus dengan data dan foto yang diunggah berada di luar ranah Indonesia membuat advokasi kasus ini berujung pada pelaporan konten dan penutupan akun impersonator tersebut dari platform Blogspot (Sumber: Inet Detikcom, 23 Februari 2009).
Hampir satu dekade kemudian, pasal 27 ayat 1 UU ITE justru menjadi pasal yang menjerat Baiq Nuril, korban pelecehan seksual secara verbal oleh pelaku yang merupakan atasannya sendiri. Inisiatif Baiq Nuril untuk merekam percakapan cabul yang melecehkan membuat ia harus ditahan selama 25 hari di tahun 2017.
Ibu Nuril yang sudah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Mataram itu lantas mendapatkan perhatian dan dukungan dari publik karena Mahkamah Agung balik memutus Ibu Nuril bersalah dalam proses kasasi. Update terakhir dalam upaya mencari novum (bukti baru), gugatan Ibu Nuril atas tindak pencabulan yang dilakukan atasannya justru gugur dikarenakan pihak kepolisian tidak menemukan adanya tindak pencabulan dari bukti berupa rekaman percakapan antara Ibu Nuril dan atasannya, dengan alasan tidak ada pelecehan seksual yang terjadi.
Di sisi lain Komnas Perempuan menemukan adanya lonjakan kasus-kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), utamanya kasus revenge porn atau pornografi balas dendam, yang seringkali justru menimpa anak-anak usia remaja. Pada 2017 ada 65 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Bentuk-bentuknya berupa pendekatan untuk memperdaya (cyber-grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).
Tidak hanya menimpa perempuan saja, kaum rentan seperti LGBT juga kerap kali mengalami KBGO, salah satunya dalam bentuk pelecehan online atau perundungan siber.
SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara melihat bahwa kekerasan berbasis gender di ranah online atau yang difasilitasi teknologi belum mendapatkan perlindungan di Indonesia. Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban KBGO justru rentan diperkarakan kembali oleh pelakunya dan terancam hukuman pidana.
Oleh karenanya, SAFEnet mendorong:
1. Pemerintah untuk menjamin perlindungan korban KBGO
2. Pemerintah dan DPR untuk merumuskan KBGO sebagai pasal yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
3. Pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
4. Aparat penegak hukum untuk memperhatikan kasus KBGO secara kontekstual, menindak tegas pelaku KBGO, dan tidak membuat korban sebenarnya menjadi korban dua kali dalam proses penegakan keadilan
5. Publik untuk tetap menghormati hak-hak digital sesama pengguna internet, termasuk hak atas rasa aman bagi perempuan dan kaum rentan.
Demikian rilis pers ini kami sampaikan agar dapat disebarkan seluas-luasnya.
Jakarta, 28 Januari 2019
Boaz Simanjuntak
Kepala Divisi Online Safety
—
Silakan unduh materi Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online: Sebuah Panduan yang disusun Nenden Sekar Arum dan Ellen Kusuma dengan mengklik file di bawah ini atau melalui URL s.id/panduanKBGO