Prodi Komunikasi FISIP UI Depok menjadi singgahan selanjutnya untuk mengajarkan aman internetan untuk kalangan para milenials pengguna media sosial. Acara ini diprakarsai oleh SAFEnet dengan menggandeng mitra seperti ICT Watch dan SiberKreasi. Narasumber acara adalah Agung Yudha, Head of Public Policy Twitter dan Damar Juniarto, Koordinator Regional SAFEnet menjadi pembicara yang diadakan mulai pukul 14:00 WIB di Ruang 304 – 305 Gedung Komunikasi FISIP UI Depok.
Relawan SAFEnet Uub menjadi moderator acara hingga selesai pada pukul 16.00 WIB. Uub menuturkan akan komponen data pada media sosial yang kita pakai selama ini. Terhadang, kita secara tidak sadar memberikan data kita secara terang-terangan melalui dunia maya, seperti memberitahukan tempat dan tanggal lahir, post foto dan bahkan status media sosial yang kerap bisa menjadi keuntungan di pihak lain. Di samping itu, memercayai berita di media sosial selalu kita lakukan hingga mengakibatkan “Ketipu photo profile” akan fakta sebenarnya. Pernyataan sang moderator memicu dialog komunikatif kepada peserta yang juga mengiyakan pernyataan tersebut.
Setelah menunaikan pengantar kepada audiens, moderator memberikan kesempatan kepada
Agung Yudha, untuk membawakan presentasinya yang berjudul, “Twitter Safety”. Agung memulai acara dengan pernyataan, “Ketika anda menggunakan platform tertentu berarti anda telah setuju untuk apa yang akan platform lakukan kepada Anda.” Yang pada sebelumnya dimulai dari pertanyaan apakah mereka telah membaca ketentuan dalam twitter.
Agung menjelaskan mengenai sifat dari twitter, bahwa twitter memiliki sifat langsung (live), umum (public) tanpa harus difollow, bersifat percakapan (conversational), dan distributif (positive viral). Sifat tersebut didukung dengan ketentuan untuk tidak melakukan harrassment (gangguan yang dialami secara pribadi) atau abuse (gangguan yang diamali tanpa harus mention @) dan berafiliasi pada SARA tertentu. “Karena dalam twitter saja, ada kurang lebih satu miliar tweet dalam dua hari, dan lebih dari 320 pengguna twitter. 79% sebagai pengguna di luar US, dan 80% pengguna melihatnya via mobile. Twitter juga dapat support dengan 35 bahasa, jadi kalau kamu penikmat K-pop dan menulis menggunakan huruf korea, akan terlihat lewat Twitter”.
Agung menjelaskan tentang contoh tindakan abusive di Twitter. Abusive merupakan ancaman yang tidak dapat ditoleransi, menggunakan akun sebagai bentuk penyimpangan, seperti violent threats (ancaman kekerasan), harrassment (ancaman pribadi), hateful content (konten pembencian), multiple account abuse (kejahatan banyak akun), private information (pemberian data pribadi tanpa izin), impersonation (pengalihan dan duplikat akun yang membuat akun aslinya buruk), self-harm (Click tweet yang dilakukan untuk memicu kecelakan terhadap diri sendiri), child sexual exploitation (eksploitasi anak) dan non-sencual nudity (mengintip video telanjang yang direkam orag lain). Selain hal abusive tersebut, twitter pada dasarnya dipakai untuk up-to-date dengan orang baru, content creator, sharing information, costumer service bahkan kampanye dan isu-isu lain yang positif.
“Di samping hal-hal tersebut, Twitter menjadi ironi pada saat datangnya hate speech dan violence,” ungkap Agung. Tidak dipungkiri, menurut Agung, ujaran kebencian menjadi marak dan tidak dapat diberhentikan. Hal ini kembali kepada hukum di suatu wilayah masing-masing, bahwa suatu wilayah atau negara mempunya level of harrassment yang berbeda. “Anggap saja, Twitter seperti alun-alun. Setiap orang boleh menggunakan alun-alun untuk jualan ataupun berpacaran, bebas. Namun apabila salah satu berbuat kekerasan dan kekerasan itu memicu keributan satu alun-alun, maka Satpol PP akan bertindak. Begitu juga dengan Twitter, akan menindak jika memang sudah taraf mengancam,” tegasnya.
Dengan berbagai permasalahan yang ada, Agung menekankan pentingnya kontrol. Kontrol yang dimaksud adalah mengatasi postingan problematis dengan menggembok akun Twitter dan lebih memperhatikan pengaturan berbagi Tweet di twitter. Mas Agung pun membagi saran bagaimana cara melaporkan penyalahgunaan postingan dengan cara in tweet reporting dan webform pada situs t.co/rules. “Twitter juga mempunyai tools bernama BRIM, yaitu Block, Report, Ignoring, dan Mute untuk tidak merespon informasi yang tidak berkenan untuk masuk ke beranda kita.”
Selanjutnya, Damar Juniarto memulai presentasi tentang fakta mengenai media sosial. “Per 2016, terdapat 132,7 juta pengguna media sosial. Ditandai dengan fenomena empat dari sepuluh orang menggunakan media sosial, lalu paling lama bisa bertahan tanpa medsos selama 7 menit.” Dalam situasi di mana masyarakat tidak bisa dipisahkan jauh-jauh dari medsos, maka masyarakat perlu tahu ancaman dalam menggunakan medsos, seperti doxing dan Hoax di dalam media sosial.
Doxing atau dropping document merupakan perbuatan untuk membuka atau membuat akun orang lain dengan tujuan kekerasan dan penyimpangan. Contohnya, mengambil data diri kita dari internet terkait tanggal lahir, alamat rumah dan status pernikahan. Alasan pagi pelaku doxing dapat bermacam-macam, seperti balas dendam, bentuk protes kepada orang lain, kontrol sosial, dan identitas pelaku yang jahat.
Berbeda dengan hoax. Meskipun doxing merupakan caranya, hoax merupakan media penyebarannya. “Seringkali orang menyebutkan hoax dengan cara yang salah. Hoax berbeda dengan fake news dan false news. Jika false news merupakan berita yang tidak akurat disampaikan, sementara fake news merupakan berita jadi-jadian yang tidak pernah diberitakan, maka hoax dapat berbentuk berita dan bukan berita. Contohnya situs-situs yang berada di dalam media sosial, bukan berarti mereka adalah berita”. Hoax pun ada yang tidak membahayakan, seperti bentuk jahil atau “prank” dan hal satir.
Yang berbahaya dan baru-baru santer diberitakan adalah political hoax, di mana sebuah berita atau bukan berita yang bertujuan untuk menciptakan keresahan dan ketidak percayaan terhadap pihak manapun, misalnya orang-orang dengan terkait SARA ataupun politik tertentu. Ciri dari political hoax yang mewabah di media sosial adalah sumber berita tidak jelas, mempunyai pesan yang provokatif, memanfaatkan fanatisme terhadap SARA dan politik tertentu, memberikan julukan-julukan nan buruk, dan satu lagi yaitu, buzzer, sebuah sinyal otomatis yang menyaratkan terhadap situasi genting seperti gempa dan banjir.
“Pada zaman dahulu, pesan berantai dapat dikategorikan hoax. Karena adanya bubble di dalam
echo chamber yang mengiyakan suatu informasi terjadi. Maksudnya, informasi akan menyocokan sendiri dengan orang yang sama persis membagikan sebuah informasi. Hal ini biasanya dilandaskan pada fakta alternatif.” Maka tips untuk terhindar dari hoax dan doxing. “Jika ada informasi mengandung hoax, langkah pertama jangan dishare. Lakukan pre checking dan pack checking pada media yang kompeten. Jika media cenderung menghasilkan hoax, ajukan somasi dan adukan kepada pemerintah, khususnya Kominfo”.
Menanggapi pertanyaan dari Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Aditya, mengapa di Twitter ada konten pornografi yang dapat lolos dari internet positif bentukan pemerintah, dan cara memberantas pasal kasus pornografi dan pasal-pasal karet mengenai media sosial saat ini. Agung menjawab, “Twitter bukanlah polisi moral bagi semua pihak. Jika hukum negara mengatakan tidak benar, bukan berarti negara lain juga mengatakan sama. Twitter bertindak jika ada pelaporan. Karena pernah sekali, ketika konten dengan keyword porno, banyak juga konten baik seperti konten kanker serviks juga ikut menghilang.”
Ketika problematis dalam media sosial tak kunjung reda, permasalahan pasti berujung pada platform yang kita emban. Namun, kembali lagi bercermin diri bahwa selama ini, kita menggunakan media sosial sebagai apa. Ketika alat yang dipakai untuk menunjang kehidupan dan berinteraksi dengan banyak orang lebih akrab, semestinya kita lebih cermat dan cerdas dalam menggunakannya. Cara meredam postingan meresahkan, pada dasarnya dimulai dari kita.
Penulis: Mikail Bintang Subuh
Editor: Damar Juniarto