Freedom House, lembaga pembela hak asasi manusia (HAM) yang berpusat di Amerika Serikat, menerbitkan Laporan Kebebasan Internet 2017. Menurut lembaga ini, kebebasan Internet di Indonesia lebih buruk sepanjang satu tahun terakhir.
Penilaian itu berdasarkan tiga kategori yaitu (1) hambatan dalam mengakses, (2) pembatasan konten, dan (3) pelanggaran terhadap hak-hak pengguna Internet. Kategori pertama meliputi hal-hal terkait kebebasan mengakses Internet, seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kontrol layanan penyedia Internet, serta independensi badan regulasi.
Kategori kedua meliputi aspek-aspek legal terkait konten di Internet, penapisan dan blokir, keberagaman konten, dan penggunaan Internet dalam menggerakkan masyarakat sipil. Kategori terakhir antara lain penyadapan, pemantauan, privasi, hingga penyerangan secara daring.
Tiap kategori mendapatkan nilai dari 0-100 yang disederhanakan dalam tiga skala yaitu 0-30 berarti bebas, 31-60 berarti sebagian bebas, dan 61-100 tidak bebas. Artinya, makin kecil nilainya berarti makin bebas. Semua kategori lalu digabungkan menjadi nilai keseluruhan dengan skala sama, 0-100.
Freedom House melakukan kajian di 65 negara selama setahun pada periode 1 Juni 2016 hingga 31 Mei 2017. Pemilihan negara-negara itu berdasarkan aspek keberagaman geografis, status ekonomi, dan kondisi politik termasuk kebebasan media.
Secara global, negara dengan nilai kebebasan Internet terbaik adalah Estonia dan Islandia. Nilai keduanya sama, 6. Adapun negara terburuk kebebasan Internetnya adalah China dengan nilainya 87. Hanya dua negara di Asia yang memberikan kebebasan Internet sepenuhnya yaitu Jepang dan Filipina.
Berdasarkan kajian tersebut, nilai kebebasan Internet Indonesia tahun ini justru memburuk dengan nilai 47 dibandingkan tahun 2016 lalu yaitu 44. Nilai tahun ini bahkan paling buruk selama lima tahun terakhir yaitu 42 (2015), 42 (2014), dan 41 (2013).
Dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, nilai kebebasan Internet di Indonesia setahun terakhir juga lebih buruk, yaitu Filipina (28), Singapura (41), dan Malaysia (44). Namun, Indonesia masih lebih baik dari negara tetangga seperti Kamboja (52), Myanmar (63), Thailand (67), dan Vietnam (76).
Apa Penyebabnya?
Freedom House memberikan sejumlah alasan kenapa memberikan nilai 47 untuk Indonesia berdasarkan tiga kategori yaitu akses Internet, pembatasan konten, dan pelanggaran hak-hak digital.
Dari sisi akses Internet, Indonesia mengalami peningkatan selama setahun terakhir terutama melalui perangkat bergerak (mobile) hingga 95 persen dari total pengguna Internet di Indonesia. Penetrasi pengguna Internet di Indonesia terus meningkat meskipun masih di bawah 30 persen.
Namun, kesenjangan digital masih menjadi isu. Internet masih terkonsentrasi di Indonesia bagian barat, terutama Sumatera dan Jawa. Kawasan timur masih susah. Jumlah perempuan yang masih mengakses Internet juga lebih sedikit.
Ketika penetrasi Internet di Indonesia terus meningkat, pada saat yang sama juga masih terjadi penapisan dan pemblokiran situs-situs tertentu, terutama di kalangan pegiat lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan Papua Barat.
Penapisan ini terjadi pula pada aplikasi bergerak, tak hanya situs.
Di sisi lain, manipulasi informasi dan kabar dusta (hoax) juga menjadi isu yang turut mempengaruhi nilai kebebasan Internet di Indonesia dari kategori konten. Pemilihan Gubernur Jakarta menjadi salah contohnya.
Dari kategori pelanggaran hak-hak digital, selama setahun terakhir juga makin marak terjadinya kriminalisasi pengguna Internet. Biang keroknya, lagi-lagi, adalah UU Internet dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama Pasal 27 ayat 3.
Maraknya persekusi terhadap pengguna media sosial dan dibiarkannya ujaran kebencian (hate speech) juga menjadi catatan buruk. Dari sisi keamanan digital, beberapa website terkait advokasi di Indonesia juga mengalami penyerangan sehingga memperburuk nilai kebebasan Internet di Indonesia.
Berkaca pada penilaian Freedom House tersebut, jelas bahwa dua isu terakhir menjadi hal mendesak di Indonesia, kebebasan konten Internet dan kebebasan hak-hak digital pengguna Internet.
Negara harus memberikan kebebasan agar warga bisa mengakses informasi dengan bebas, termasuk isu LGBT dan Papua Barat. Pada saat yang sama Negara juga menjamin bahwa pengguna Internet mendapat jaminan kebebasan untuk menyampaikan pendapat tanpa harus ditakut-takuti oleh ancaman penjara.