Dalam setahun terakhir, kata ‘Persekusi’ makin sering muncul di berbagai berita di media dan percakapan masyarakat Indonesia. Secara sepintas, persekusi bisa diartikan sebagai tindakan penganiayaan terhadap seseorang.
Sebagai contoh terbaru adalah kasus ‘persekusi’ terhadap pasangan yang diduga melakukan tindakan mesum di Tangerang. Namun, apakah hal tersebut memang layak disebut sebagai tindakan persekusi? Apa sebenarnya arti persekusi, dan apa saja yang sebenar-benarnya masuk dalam kategori persekusi dalam ranah hukum?
Pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
per.se.ku.si /pêrsékusi/ n pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas
Oxford Dictionary
per·se·cu·tion /ˌpərsəˈkyo͞oSH(ə)n / [1] hostility and ill-treatment, especially because of race or political or religious beliefs. [2] persistent annoyance or harassment.
Sementara itu, dalam ranah hukum belum ada rujukan yang secara langsung mendefinisikan istilah persekusi dalam arti sempit. Selama ini, istilah persekusi hanya diterjemahkan dalam praktik peradilan.
Persekusi diterjemahkan oleh pengadilan dengan memasukan tindakan-tindakan seperti pembunuhan, pembantaian, penyiksaan, dan tindakan serius lainnya, termasuk tindakan diskriminasi yang merupakan serangan terhadap hak politik, sosial dan ekonomi.
Persekusi pada umumnya digunakan untuk menggambarkan rangkaian tindakan daripada tindakan tunggal, serta terkait dugaan suatu kebijakan atau praktik diskriminasi yang meluas. [1]
Berdasarkan International Criminal Court (Statuta Roma) 1998, Pasal 7 ayat (1) huruf (h):
Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, kewarganegaraan, etnis, budaya, agama, gender sebagaimana didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal dilarang berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah (kejahatan terhadap kemanusiaan).
Kejahatan terhadap kemanusiaan berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui serangan; pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk; memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual; pemaksaan prostitusi; penghamilan paksa; penghilangan paksa; kejahatan apartheid; Perbuatan tak manusia lain dengan sifat yang sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Sedangkan, berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951 Pasal 1:
Seseorang yang berada di luar negara asalnya, dan memiliki rasa takut yang medalam atas adanya persekusi dengan alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial atau pendapat politik, serta tidak memperoleh perlindungan dari negaranya, dan tidak ada keinginan untuk kembali.
Dari penjelasan dua dasar hukum internasional di atas, ada beberapa hal yang bisa kita kategorikan sebagai unsur-unsur dari persekusi, mulai dari bentuk, pelaku, sifat, sasaran dan dasar dari tindakan.
Beberapa kasus persekusi yang terjadi di dunia adalah pengusiran dan pembataian kaum Kristiani Armenia oleh Kerajaan Ottoman Turki, dan yang terbaru adalah kasus penganiayaan etnis Rohingya di Myanmar. Di dalam negeri adalah kasus pembunuhan terhadap siapapun yang dicurigai sebagai anggota PKI, serta pengusiran dan penganiayaan terhadap penganut Ahmadiyah.
Sementara itu, pada zaman digital saat ini, kasus persekusi juga dapat terjadi karena didasarkan aktivitas secara online. Berdasarkan data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) kasus persekusi meningkat setelah dipidanakannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke pengadilan dengan pasal penodaan agama. Fenomena yang disebut The Ahok Effect ini terjadi terhadap akun-akun yang dianggap menghina agama/ulama di media sosial yang dilaporkan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE [2].
Persekusi The Ahok Effect dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
- Lewat Facebook Page, admin melacak orang-orang yang diduga menghina ulama/agama melalui postingan di social media
- Menginstruksikan massa untuk memburu target yang sudah dibuka identitas, foto, dan alamat kantor/rumah
- Aksi gruduk ke kantor/rumahnya oleh massa
- Dibawa ke polisi dikenakan pasal 28 ayat 2 UU ITE atau pasal 156a KUHP
Beberapa kasus persekusi yang terjadi terhadap warganet antara lain, kasus Otto Rajasa, Aking Saputra, Fiera Lovita, dll.
Kasus persekusi yang terjadi akhir-akhir ini berbahaya, tidak saja karena ia menimbulkan ketakutan untuk berpendapat secara bebas dan karenanya mengancam demokrasi, tapi lebih dari itu karena persekusi dapat menjadi konflik horizontal yang meluas dan berujung pada negara yang gagal seperti yang telah terjadi pada beberapa negara di dunia.
Masih kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat terhadap kasus persekusi juga menjadi salah satu faktor kasus ini terus meluas. Hingga saat ini, hukum pidana nasional tidak mengenal istilah ‘persekusi’ sekalipun [3]. Lantaran itu, penanganan terhadap kasus persekusi hanya diperlakukan sebagai kasus kejahatan yang terpisah, misalnya hanya penganiayaan saja, atau hanya pembunuhan saja. Padahal, dibalik itu adanya perbuatan yang sistematis dan meluas, dan masuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Untuk itu, ada beberapa langkah yang bisa menjadi usulan dan dilakukan untuk menekan jumlah kasus persekusi. Sebagai langkah darurat, penyediaan rumah lindung dan crisis centre bagi para korban kasus persekusi bisa dilakukan sebagai upaya untuk menampung dan merehabilitasi korban. Setelah itu, proses pengumpulan dan analisis data kasus persekusi bisa menjadi dasar untuk melakukan audiensi terhadap stakeholdersdan diharapkan bisa menghasilkan kebijakan preventif. Sementara itu, gol akhirnya adalah adanya aturan atau kebijakan antipersekusi.
Selama proses di atas dilaksanakan, secara paralel kampanye antipersekusi pun harus diselenggarakan. Kampanye ini bisa berupa edukasi dan literasi tentang persekusi bagi semua kalangan masyarakat, adanya gerakan antipersekusi secara online ataupun offline, hingga menunjuk duta antipersekusi(?). Intinya adalah bagaimana cara membuat masyarakat sadar bahwa tindak persekusi sangat berbahaya, dan jangan sampai mereka menjadi korban atau bahkan menjadi pelaku persekusi. Karena, seringkali kita tidak sadar bahwa apa yang kita lakukan terhadap orang lain bisa jadi mengarah sebagai tindakan persekusi.
NENDEN SEKAR ARUM
Relawan SAFEnet
Sumber:
[1] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Persekusi Dalam Hak Asasi Manusia. Pelatihan Advokat Persekusi Untuk Kebebasan Beragama, Berkeyakinan Dan Berekspresi Dalam Isu Persekusi. Bandung, Oktober 2017.
[2] SAFEnet. Jumlah Persekusi Naik Dua Kali Lipat Dari Sebelumnya. http://id.safenetvoice.org/2017/06/persekusi-duakalipat/. Juni 2017.
[3] Tristam P. Moeliono. Persecution. Pelatihan Advokat Persekusi Untuk Kebebasan Beragama, Berkeyakinan Dan Berekspresi Dalam Isu Persekusi. Bandung, Oktober 2017.