Sesaat setelah majelis hakim menjatuhkan vonisnya, perempuan itu menjerit histeris. Tangisnya pecah, seperti hujan yang tiba-tiba deras selepas mendung yang berlama-lama. Suaranya menggetarkan ruang persidangan, mengirim sinyal-sinyal aneh ke dada siapa saja yang hadir di sana. Sinyal yang tak bisa dijelaskan, tapi mampu menggetarkan dada.
Perempuan itu terus menangis, bahkan ketika seorang pria berbaju koko putih dan bertutup kepala putih seperti seorang haji memeluknya. Si pria malah ikut menangis, tersedu, seperti tertular tangisan perempuan yang tak lain adalah ibunya. Beberapa orang lain yang ada di sekitar mereka ikut menangis, ikut memeluk dua ibu-anak itu. Beberapa lainnya yang berada di luar lingkaran hanya terpatung, tak tahu harus bereaksi apa. Sisanya adalah wartawan yang menjalankan tugas, membekukan adegan itu dengan kamera-kamera mereka.
Sampai akhirnya beberapa petugas berseragam memisahkan ibu-anak itu. Menarik si anak menjauhi ruang sidang, ke balik jeruji besi tempatnya menghabiskan waktu hingga lima bulan ke depan. Si ibu yang menutup kepalanya dengan hijab itu dipapah keluarganya, menjauh dari ruang sidang yang sore itu terasa temaram karena tak semua lampunya menyala dan matahari tidak bebas menerobos ke dalam.
Ibu itu bernama Rukmini, usianya sudah menjelang masa pensiun seorang Pegawai Negeri Sipil. Sore itu, air matanya terkuras selepas majelis hakim menjatuhkan vonis penjara badan pada anaknya: Fadli Rahim. Sang anak tersandung kasus hukum karena dianggap menghina bupati Gowa saat itu lewat sebuah obrolan di grup chat Line. Tangisan Rukmini mengantar Fadli ke balik jeruji besi, menghabiskan sisa hari yang merenggut kebebasannya.
Rukmini memang bukan korban langsung dari jeratan pasal 27 Ayat 3 UU ITE. Dalam catatan SAFENET, dari 177 kasus yang terverifikasi sampai 15 Desember 2016, 33 orang atau 18.4% korban UU ITE adalah perempuan. Sisanya, atau 144 orang adalah laki-laki.
Namun, menurut Damar Juniarto-koordinator relawan SAFENET-korban UU ITE sesungguhnya 100% adalah perempuan. Mereka ada yang terdampak langsung seperti 33 orang itu, dan selebihnya adalah yang tidak terdampak langsung.
Para laki-laki yang terjerat UU ITE adalah anak-anak dari seorang perempuan, atau suami dari seorang perempuan. Ketika mereka terjerat UU ITE, sesungguhnya mereka juga menyeret para perempuan di belakang mereka. Ibu mereka tak bisa tidur dan makan dengan tenang, istri mereka bahkan mungkin tidak tahu lagi harus makan apa hari ini. Laki-laki itu terpenjara badannya, tapi di belakang mereka ada perempuan-perempuan yang terpenjara pikirannya.
Prita dan Perempuan Lain di Belakangnya
Antara tahun 2008-2009 yang lalu, nama Prita Mulyasari sempat menjadi nama yang ramai dibicarakan netizen di Indonesia. Ibu ini tersandung kasus pencemaran nama baik menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE setelah mencurahkan perasaannya lewat email. Ribuan orang bersimpati kepadanya, mengumpulkan koin yang dikenal dengan nama Koin Untuk Prita yang dimaksudkan sebagai bayaran atas denda yang diinginkan RS Omni Internasional, lawan Prita Mulyasari di pengadilan.
Heboh kasus Prita Mulyasari ternyata tidak lantas membuat UU ITE dengan pasal karetnya itu dihapus. Bertahun-tahun setelahnya, korban tetap jatuh. Beberapa di antaranya juga kaum perempuan, sama seperti Prita Mulayasari.
Di Jogja ada Ervani, seorang ibu rumah tangga yang terjerat pasal 27 ayat 3 UU ITE setelah mengeluhkan sikap departemen HRD tempat suaminya bekerja. Beruntung, Ervani divonis bebas oleh pengadilan negeri Yogyakarta. Di Bandung ada Wisni Yetty, seorang ibu rumah tangga yang dikasuskan (mantan) suaminya menggunakan pasal kesusilaan di UU ITE. Disinyalir, laporan itu sebagai balasan karena Wisni Yetty melaporkan suaminya atas kasus KDRT. Wisni Yetty juga beruntung karena divonis bebas.
Di Makassar, seorang perempuan muda yang tidak lulus Sekolah Dasar dihadapkan ke pengadilan atas laporan seorang anggota DPRD. Yusniar, dilaporkan karena status Facebook-nya yang dianggap sang anggota dewan yang terhormat itu mencoreng nama baiknya. Padahal, Yusniar hanya mengeluh setelah rumahnya digeruduk massa sebagai kelanjutan kasus perebutan tanah warisan orang tuanya.
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ada juga seorang perempuan yang jadi korban. Ni Nyoman Sri Suyasni Pura bersama tiga orang temannya dilaporkan ke polisi, lagi-lagi karena status di Facebook. Ibu Pura-demikian sapaannya-mengeluhkan tanah adat termasuk kuburan orang tuanya yang dijadikan lahan parkir sebuah pengembang. Proses itu menurut ibu Pura tidak melalui dialog dengan keluarga atau warga Hindu. Kasus ini sudah masuk ke tahap penyidikan.
Perempuan terakhir yang sepertinya siap berurusan dengan hukum adalah Natasha Gabriella Tontey. Perempuan muda yang seorang seniman ini sepertinya akan siap-siap sibuk dan berurusan dengan hukum setelah gelaran seninya yang diberi tajuk Little Shop of Horrors atau Makan Mayit diprotes banyak pihak. Tontey dilaporkan ke polisi karena gelaran seninya dianggap melanggar etika di negeri ini.
Hari Perempuan Sedunia
Setiap tahun, 8 Maret selalu diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia atau International Womans Day. Di hari yang sama tahun ini, sidang kasus Yusniar juga digelar di pengadilan negeri Makassar. Agendanya adalah pembacaan pledoi atau pembelaan dari tim kuasa hukum Yusniar.
Terasa ironi, bahwa di hari ketika kekuatan perempuan harusnya diperingati, diberi tempat khusus, di satu daerah di Indonesia ada perempuan yang harus duduk di kursi pesakitan, membela dirinya melawan sebuah kekuatan yang besar dari seorang pria anggota dewan yang terhormat.
Yusniar mungkin tidak sendirian. Di hari yang sama mungkin saja ada banyak lagi perempuan Indonesia yang harus duduk di kursi pesakitan, perempuan yang terpasung kebebasannya melawan kekuatan yang lebih besar. Di luar ruang sidang, masih banyak juga perempuan lain yang sama-sama terpasung dan sama-sama melawan kekuatan yang tak kalah besarnya. Ada perempuan Kendeng yang melawan kekuasaan pabrik semen, ada perempuan-perempuan yang berdiri di belakang aksi tolak reklamasi di Bali dan Lombok, ada juga perempuan-perempuan yang kehilangan mata pencaharian setelah pantai di depan mereka direnggut korporasi besar di Makassar.
Di Seko, perempuan-perempuan mereka ditempeleng tentara, dimaki, ditakut-takuti. Setelah para lelaki dipenjara karena berani melawan pembangunan PLTA di lahan tanah adat mereka.
Perempuan sejatinya memang lebih kuat dari para lelaki. Mereka bisa bertahan seburuk apapun keadannya, mereka bisa ibu dan ayah sekaligus, mengerjakan banyak hal sekaligus dan melewati badai sekeras apapun. Tapi, mereka tetap saja perempuan yang sering dianggap lemah dan dibiarkan menjadi korban pasungan. Dilindas kekuasaan dan kekuatan, sampai mereka benar-benar menyerah.
Selamat hari perempuan sedunia! Semoga tak ada lagi perempuan yang terpasung kebebasannya dan dilindas kekuasaan.
DAENG IPUL
Relawan SAFEnet Makassar
Disalin dari daenggassing.com