Korban UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 terus berjatuhan. Paling baru adalah Yusniar, seorang ibu rumah tangga di kota Makassar.
SEMUA berawal dari sebuah perselisihan antar saudara tiri yang memperebutkan sepetak tanah warisan. Baharuddin Daeng Situju berselisih memperebutkan tanah warisan orang tua dengan saudara tirinya; Daeng Kebo’.
Objek perselisihan tersebut adalah tanah di Jl. Sultan Alauddin Lr. 8 No. 3 RT. 02 RW. 09 Kelurahan Pabaeng-baeng, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Di atas tanah itulah Baharuddin Daeng Situju menetap bersama beberapa anaknya.
Perselisihan yang tak diselesaikan di pengadilan itu makin memanas ketika 13 Maret 2016, serombongan orang mendatangi rumah Baharuddin Daeng Situju. Warga bersaksi kalau jumlahnya mungkin mencapai 100 orang. Mereka ini ditengarai adalah orang-orang suruhan Daeng Kebo’ yang berniat merusak rumah yang berdiri di atas tanah sengketa itu. Tanah yang dijadikan sengketa itu sesungguhnya telah dibagi antar dua pihak yang bertikai, sayangnya pihak Daeng Kebo’ keberatan dengan pembagian itu dan menuntut lebih.
Rombongan orang itu kemudian mulai beringas, mereka merusak dinding dan atap dengan menggunakan balok kayu dan linggis. Salah seorang dari anggota rombongan itu berteriak dan memberi perintah untuk melakukan pembongkaran.
“Bongkar! Saya anggota dewan! Saya pengacara!” Teriak pria yang belakangan diketahui bernama Sudirman Sijaya, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jeneponto dari Faksi Gerindra masa bakti 2014-2019. Sudirman Sijaya mengaku kalau dia adalah pengacara Daeng Kebo’. Seperti yang disebutkan di atas, sengketa antar saudara tiri ini belum sampai ke pengadilan sehingga aksi perusakan yang terjadi di 13 Maret tersebut bukan atas perintah pengadilan.
Aksi perusakan hari itu berhasil digagalkan petugas dari Polres Tamalate yang datang ke lokasi. Rombongan perusak itu membubarkan diri.
Sehari kemudian, di tanggal 14 Maret 2016, Yusniar (27 tahun) yang adalah anak kandung Baharuddin Daeng Situru yang melihat dan mengalami langsung kejadian atas perusakan rumahnya mengungkapkan kekecewaannya lewat media sosial Facebook.
“Alhamdulillah Akhirnya selesai Juga Masalahnya. Anggota DPR t*lo, Pengacara t*lo. Mau nabantu orang yang bersalah, nyata-nyatanya tanahnya ortuku pergiko ganggui Poeng..,” tulisnya. Sama sekali dia tidak menyebut nama di status itu.
Sebenarnya memang tidak ada satupun orang yang tahu siapa Sudirman Sijaya sebelum dia berteriak memproklamirkan dirinya sebagai anggota DPRD dan pengacara.
Namun, status no mention itu ternyata berbuntut panjang. 15 Maret 2016, Sudirman Sijaya secara resmi melaporkan Yusniar ke Polrestabes Makassar atas tuduhan pencemaran nama baik melalui media sosial. Pasal yang digunakan Sudirman Sijaya adalah pasal 27 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara atau denda Rp.1 miliar.
Sudirman Sijaya dan Yusniar tidak berteman di Facebook, sehingga kuat dugaan status itu ditangkaplayar (screen capture) dan diteruskan oleh pihak ketiga.
24 Oktober 2016, Yusniar resmi menjadi tahanan kejaksaan dan kasusnya mulai disidangkan hari Rabu, 2 November 2016. Wanita muda yang sudah menikah namun belum dikaruniai anak ini harus mendekam di Rumah Tahanan Negara sambil menunggu keputusan sidangnya.
Kuasa Yang Tak Berimbang
Apa yang terjadi pada ibu Yusniar menambah panjang daftar korban undang-undang no.11 tahun 2008 atau yang lebih beken disebut UU ITE. Dari data yang dirilis oleh SAFENET dan dibuatkan infografis oleh Remotivi, terlihat bahwa sebagian besar pelapor yang menggunakan UU ITE berasal dari kalangan pejabat publik atau aparatur pemerintah.
Prosentasenya mencapai angka 50%, dari angka itu 40%-nya adalah pejabat negara seperti gubernur, walikota dan bupati. Mengikut di belakangnya dengan angka 14% adalah anggota DPRD/DPRD serta hakim dan jaksa.
Infografis lengkapnya bisa dilihat di sini.
Prosentase itu menunjukkan tingginya minat pejabat atau orang yang punya kuasa untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan cara menekan orang yang lebih lemah. UU ITE, utamanya pasal 27 ayat 3 dipandang sebagai alat yang paling pas untuk melegitimasi kekuasaan.
Dalam kasus Yusniar, terlihat jelas ketidakseimbangan kuasa tersebut. Pertama, Yusniar hanyalah seorang warga biasa dan ibu rumah tangga sementara Sudirman Sijaya yang melaporkannya adalah seorang anggota DPRD yang tentu saja mempunyai kuasa lebih.
Kedua, dalam status sosial Yusniar juga kalah. Dia tinggal di sebuah rumah panggung sederhana bersama dua keluarga lainnya. Mereka hidup berdempet di rumah yang sempit. Berbeda dengan Sudirman Sijaya yang bisa kita tebak kehidupannya sebagai seorang anggota DPRD.
Ketiga, Yusniar adalah seorang perempuan yang dalam status sosial kadang masih dianggap sebagai warga negara kelas dua dengan kekuasaan yang terbatas. Jadi tiga alasan itu sepertinya sudah lengkap untuk menunjukkan adanya relasi kuasa yang tidak berimbang.
Dalam keterangan terpisah yang ditayangkan di Kompas TV hari Kamis, 3 November 2016, Sudirman Sijaya mengaku sakit hati atas status Yusniar di Facebook. Menurutnya, dia datang dengan maksud memediasi pertikaian dua saudara tiri itu, tapi oleh Yusniar justru dimaki dengan kata-kata; anggota DPRD t*lo (t*lol) dan pengacara t*lo.
“Kalau memang dia datang sebagai mediator, harusnya dia bersikap adil dan datang dengan persetujuan kedua pihak. Bukan datang bersama rombongan yang mau merusak,” bantah Azis Dumpa, penasehat hukum Yusniar yang ditemui di kantor LBH Makassar.
“Status yang dibuat Yusniar menurut saya wajar, namanya orang kecewa dan kesal. Siapapun kalau rumahnya didatangi ratusan orang yang mau membongkar paksa pasti akan trauma,” tambah Azis Dumpa lagi.
Revisi UU ITE yang Setengah Hati
UU ITE utamanya pasal 27 ayat 3 memang sudah lama dikritisi oleh banyak pihak karena dianggap sebagai pasal karet. Siapa saja boleh menafsirkannya sesuka hatinya karena memang tidak ada indikator yang pas untuk menunjukkan individu sebagai “korban pencemaran nama baik.”
Pelapor hanya menggunakan perasaan sebagai indikator bahwa nama baiknya telah dicemarkan. Sangat disayangkan, padahal jika memang pelapor merasa nama baiknya dicemarkan, pelapor harus memberi bukti semisal; karir yang terhambat karena nama baik yang dicemarkan, atau bisnis yang mandeg karena adanya pencemaran nama baik. Melapor hanya dengan menggunakan perasaan tentu sangat sulit untuk diukur. Siapa yang bisa mengukur perasaan orang lain?
Undang-undang No.11 tentang ITE memang baru saja mengalami revisi yang disahkan oleh DPR yang bekerjasama dengan pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika tanggal 27 November 2016. Namun, revisi UU ITE ini masih dianggap sebagai revisi setengah hati.
Desakan untuk mengapuskan pasal 27 ayat 3 UU ITE ternyata tidak diwujudkan, pasal tersebut hanya mengalami penurunan jumlah ancaman penjara. Dari 6 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara dan dari denda Rp.1 miliar menjadi Rp.750 juta.
Meski revisi ini juga memasukkan beberapa penjelasan mendetail tentang bagaimana penjelasan atas pidana pencemaran nama baik seperti yang termaktub di pasal 27 ayat 3 UU ITE, namun beberapa aktivis dan pengamat mengaku masih pesimis. Bagaimanapun menurut mereka, UU ITE utamanya pasal 27 ayat 3 masih dianggap rawan disalahgunakan oleh para pejabat atau penguasa yang memang ingin membungkam warga dan menjaga kuasanya.
Yusniar menjadi korban paling mutakhir dari pasal karet itu. Di belakangnya mungkin saja akan lebih banyak lagi korban-korban lainnya yang berjatuhan. Selama pasal 27 ayat 3 UU ITE belum dihapuskan, siapa saja bisa jadi korban. Hari ini Yusniar, besok entah siapa lagi.
SYAIFULLAH
Relawan SAFENET Makassar
Sumber: http://daenggassing.com/internet/yusniar-korban-uu-ite/