JAKARTA—Aliansi masyarakat sipil, Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) menuntut parlemen dan pemerintah segera merombak regulasi mengenai informasi dan komunikasi. Hal ini berkaitan dengan maraknya kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik, pemblokiran situs sepihak, dan monopoli kepemilikan infrastruktur SIKA menegaskan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seharusnya tidak mengatur ketentuan pidana konvensional. “Pidana kesusilaan, penghinaan dan pencemaran nama baik, ancaman kekerasan, dan penyebaran kebencian berlatar SARA harus dikembalikan ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” ujar Mujtaba Hamdi dari MediaLink, di Jakarta (31/3).
Pasal-pasal tersebut banyak digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan pihak pemberi layanan publik lainnya. Pasal pencemaran nama baik, misalnya, digunakan oleh penguasa untuk mengkriminalkan orang biasa yang mengkritik melalui media sosial. Karena itu, tegas Mujtaba, ketentuan-ketentuan dalam UU ITE seperti Pasal 27, 28, 29 harus dihapus. “UU ITE seharusnya mengatur pidana yang berkaitan dengan kejahatan siber, bukan pidana konvensional,” imbuhnya. Menurut pengamatan SIKA, banyak kasus penipuan online dan kejahatan komputer dilaporkan ke kepolisian, namun tidak ada tindak lanjut.
SIKA juga menilai, tidak jelasnya aturan membuat pemerintah kerap melakukan pemblokiran sewenang-wenang. “Kami menentang pemblokiran sewenang-wenang tanpa proses hukum yang adil, apalagi pemblokiran situs tanpa adanya perintah dari Pengadilan. Pemblokiran situs internet tanpa pengaturan yang jelas dan transparan akan membawa konsekuensi yang besar terhadap adanya kemungkinan kesalahan melakukan pemblokiran,” ujar Anggara Suwahju, peneliti Institute Criminal Justice Reform (ICJR).
Baru-baru ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan daftar 19 situs untuk dilakukan pemblokiran, yang didasarkan pada permintaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) karena dianggap sebagai penggerak paham radikalisme dan/atau simpatisan radikalisme. Bahkan berita terakhir menyebutkan ditambah 3 situs, hingga total menjadi 22 situs yang diblokir.
Bagi Anggara, aturan pemblokiran harus memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas. Ia menilai terbitnya Peraturan Menteri Kominfo No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (Permen 19/2014) tidak memiliki dasar yang cukup. “Apalagi Permen tersebut sedang diuji di Mahkamah Agung. Seharusnya, Kementerian Kominfo tidak menggunakan peraturan atau dasar hukum yang sedang diuji di Mahkamah Agung sebagai dasar untuk melakukan pemblokiran terhadap situs internet,” imbuh Anggara.
SIKA merupakan aliansi masyarakat sipil yang bertujuan mewujudkan aturan informasi dan komunikasi yang adil. Mereka melakukan advokasi terhadap perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), perubahan Undang-Undang Penyiaran (UU Penyiaran) dan Rencana Undang-Undang Radio Televisi Indonesia (UU RTRI). Ketiga RUU tersebut menjadi agenda prioritas legislasi DPR tahun 2015. *
Jakarta, 31 Maret 2015
SIKA (Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil) merupakan jaringan dari beberapa lembaga sebagai berikut:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) , Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) , ICT Laborary fo Social Change (ILAB) , Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) , Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Medialink, Offstream, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Public Virtue Institute (PVI), Remotivi, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Satudunia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) , Yayasan TIFA