Pernyataan Pers
Perubahan UU ITE: Prioritas Bagi DPR dan Pemerintah Baru
Besok, 1 Oktober 2014, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih, untuk periode 2014-2019, akan dilantik. Banyak wajah baru dalam komposisi anggota parlemen mendatang, secuil harapan kita lekatkan pada mereka, di tengah sengkarut politik transaksional yang nampaknya belum akan berakhir. Salah satu persoalan mendesak yang membutuhkan penanganan segera, adalah perubahan terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mengapa amandemen UU ITE harus diprioritaskan? Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Terutama berangkat dari fakta begitu pesatnya perkembangan pemanfaatan teknologi internet, sehingga perlu ada penyesuaian dalam pengaturannya. Selain itu, perkembangan baru perihal keharusan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dalam setiap kebijakan terkait internet, juga musti dipertimbangkan. Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan, perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka online. Perlindungan ini khususnya terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih.
Sementara di Indonesia hari ini, masih berserak sejumlah masalah dan tantangan, khususnya dalam perlindungan kebebasan berekspresi di internet. Persoalan yang paling mengemuka akhir-akhir ini, adalah kian masifnya penggunaan pasal pidana penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE), untuk mengkriminalkan para pengguna internet. Data yang dihimpun oleh SAFENet menemukan sedikitnya 60 orang harus berhadapan dengan hukum, akibat aktifitasnya di internet, khususnya media sosial. Lugasnya, bagi pihak yang memiliki kekuasaan (power full) khususnya, pasal pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE, acapkali menjadi instrumen pembalasan dendam, untuk memkriminalkan pihak yang power less, akibat postingannya di internet. Tentu ini gejala yang tidak menggembirakan, karena jika dibiarkan, efek ketakutan (chilling effect) yang ditimbulkan, akan memotong kebebasan berbicara, berpendapat dan berekspresi.
Tantangan lain dalam kebebasan berekspresi di internet ialah ketidakjelasan dalam pengaturan konten internet, sehingga praktik pemblokiran konten yang semen-mena masih kerap dilakukan. Tindakan semena-mena ini terjadi sebagai akibat kekosongan hukum dalam pengaturannya. Langkah pemerintah dengan mengeluarkan Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif justru pilihan yang keliru. Sebab tidak seharusnya pembatasan terhadap hak, khususnya hak untuk memperoleh informasi dan kebebasan berekspresi, dibuat dalam wadah di bawah undang-undang. Peraturan tersebut juga gagal menghadirkan mekanisme pembatasan konten internet yang betul-betul transparan dan akuntabel.
Berangkat dari sejumlah poin di atas, kami mendesak kepada pemerintah baru dan DPR hasil Pemilu 2014, untuk memerhatikan beberapa hal berikut:
1. Memastikan masuknya agenda perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2014-2019, dan menjadi agenda prioritas legislasi tahun 2015.
2. Memastikan terintegrasinya prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia, khusunya jaminan hak atas kebebasan berpendapat, berekspresi dan memperoleh informasi, dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan teknologi internet.
3. Menghapuskan ketentuan pidana penghinaan dan pencemaran nama baik di Indonesia.
4. Menghapuskan duplikasi tindak pidana (penyebaran kebencian, kesusilaan, dll) dari ketentuan undang-undang yang mengatur pemanfaatan teknologi internet, karena sudah diatur di dalam KUHP.
5. Secara menyeluruh mengakomodasi pengaturan konten internet dalam undang-undang, tentunya dengan mempertimbangkan seluruh kaidah dan prinsip pembatasan dalam hak asasi manusia, sehingga tidak terjadi pembatasan yang semena-mena.
Demikian pernyataan pers kami, untuk disebarluaskan.
Jakarta, 30 September 2014
Koalisi Internet Tanpa Ancaman (KITA)
ELSAM, ICT Watch, ICJR, LBH Pers, SAFENet, ID-Config,
AJI Indonesia, IDOLA, MAPPI FH UI, LBH Jakarta, KPJKB Makassar,
LBH Pers Padang, LBH Bandung, AJI Yogyakarta,
AJI Surabaya, Sloka Institute Denpasar