“Saya merasa sendirian ketika itu. Tidak ada teman sama sekali,” kata Prita Mulyasari.
Sabtu lalu, Prita bercerita kepada kami di Jakarta. Selama sekitar 4 jam, diselingi rihat makan siang, ibu tiga anak yang pernah masuk penjara gara-gara Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini membagi kembali pengalamannya.
Mari sekadar memutar ulang cerita tentang Prita.
Pada 13 Mei 2009, Prita ditahan Kejaksaan Negeri Tangerang, Jawa Barat. Tuduhannya, Prita telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional. Dasar dakwaan tersebut adalah email Prita yang mengeluhkan pelayanan di RS Omni Internasional.
Jaksa menggunakan pasal 310 ayat 1 atau pasal 311 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik dan pasal 27 ayat 3 UU ITE untuk menuntut Prita.
Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan RS Omni Internasional. Prita harus membayar ganti rugi materil Rp 161 juta dan ganti rugi immateril Rp 100 juta.
Singkat cerita setelah melalui semua proses hukum, Mahkamah Agung membebaskan Prita pada 17 September 2012.
Prita sebenarnya bukan korban pertama pasal 27 ayat 3 UU ITE. Namun, dia menjadi ikon dari para korban pasal karet ini karena kasusnya disorot banyak media sosial maupun arus utama.
Prita pun bukan satu-satunya korban pasal 27 ayat 3 UU ITE ini. Berdasarkan rekap Southeast Asian Freedom of Expression Network (Safenet), ada sekitar 40 kasus akibat pasal ini di Indonesia.
Itu kasus yang terekam lewat media. Saya kain kasus lain yang tak diketahui publik pasti lebih banyak lagi. Kasus lain akibat pasal 27 ayat 3 UU ITE pasti serupa fenomena gunung es, amat sedikit yang terlihat.
Kasus terbaru menimpa Iwan Ch Pangka, pengacara di Depok. Dia dilaporkan oleh jaksa ke polisi dengan tuduhan sama seperti halnya Prita, pencemaran nama baik.
Di Makassar, Sulawesi Selatan ada Muhammad Arsyad yang sedang menjalani pengadilan gara-gara status BlackBerry Messenger (BBM)-nya. Di Minahasa Utara ada Rosali Amelia Smith yang ditangkap polisi karena status Facebook-nya.
Makin banyak warga yang kena jerat UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 ini. Terbukti bahwa UU ini memang cuma bisa menjerat, bukan melindungi warga dunia maya di negeri ini.
Di sisi lain, para korban yang terentang dari ujung timur hingga ujung barat negeri ini tidak kenal satu sama lain. Pendampingan terhadap mereka pun belum dilakukan secara kolektif.
Karena itulah, menurut Prita, perlu ada semacam paguyuban para korban UU ITE ini.
Sebagai UU baru, UU Nomor 11 tahun 2008 memang terus memakan korban. Di sisi lain, para korban tersebut justru tidak mengerti sama sekali tentang UU ini. Apalagi menghadapi proses hukumnya.
Jangankan warga yang awam hukum seperti Prita, seorang ibu rumah tangga, bahkan yang pengacara seperti Iwan Pangka ataupun sarjana hukum seperti Arsyad pun banyak yang “masih gagap” ketika menghadapi kasus akibat UU ITE ini.
Adanya solidaritas sesama korban UU ITE akan membuat korban baru – jika ada – akan merasa mendapat dukungan. “Korban (UU ITE) perlu teman yang bisa mendampingi terutama yang mengalami hal sama dan ngerti hukum. Itu sangat dibutuhkan,” kata Prita.
Safenet sendiri sudah berusaha membangun solidaritas tersebut. Tujuannya agar sesama korban bisa saling mendukung terutama dari sisi pengalaman dan mental. Ini bagian dari upaya non-litigasi.
Sekarang tinggal para korban, apakah mau difasilitasi atau tidak. Ini yang masih jadi tantangan besar, mengorganisir para korban.