Ancaman terhadap kebebasan berekspresi utamanya yang menggunakan media elektronik (termasuk internet dan segala perangkatnya) makin menemui banyak tantangan di negeri ini. Kamis 13 Maret 2014, Muhammad Arsyad menjalani sidang pertamanya di pengadilan negeri Makassar. Lelaki 28 tahun ini dilaporkan Abdul Wahab setelah membuat status BBM yang dianggap mencemarkan nama baik Nurdin Halid dan adiknya Kadir Halid.
Muhammad Arsyad didakwa dengan beberapa pasal sekaligus, termasuk UU ITE pasal 27 ayat 3 karena dianggap mencemarkan nama baik menggunakan perangkat elektronik (BBM). Ancaman hukuman yang mengintai Muhammad Arsyad adalah 6 tahun penjara atau denda 1 milyar rupiah. Kasus ini menarik perhatian dan simpati dari banyak orang, termasuk para pengguna internet yang melihat kejanggalan dari kasus ini sebagai bagian dari usaha membungkam kebebasan berpendapat.
Di hari yang sama beberapa jam kemudian bertempat di Cafe Broo Jl. Bonto Manai Makassar digelar sebuah diskusi yang mengangkat tema: Merawat dan Meruwat Kebebasan Berpendapat via Teknologi Informasi. Diskusi ini dipandu oleh Syaifullah, blogger sekaligus perwakilan dari SafeNet yang sedang mengawal kasus Muhammad Arsyad ini. Hadir sebagai pembicara utama Wahyudi Djafar dari ELSAM, sebuah lembaga yang memang fokus memperjuangkan hak asasi manusia termasuk kebebasan berpendapat. Sedianya Akram, salah satu dari tim pengacara Muhammad Arsyad dijadwalkan untuk hadir namun karena kesibukan beliau urung untuk hadir.
Wahyudi Djafar membuka pemaparannya tentang perkembangan internet di Indonesia yang sedemikian besar dan membuka gerbang informasi seluas-luasnya bagi semua kalangan. Pemerintah sebagai pihak yang paling merasa berkuasa atas tata kelola internet di Indonesia kemudian mengeluarkan serangkaian undang-undang dengan maksud mengatur tata kelola internet di Indonesia. Alih-alih menimbulkan rasa aman bagi pengguna internet, undang-undang yang dikenal dengan nama UU ITE ini malah mengundang kontroversi karena dianggap membatasi ruang gerak berekspresi dan berpendapat.
Salah satu pasal yang paling sering digunakan untuk menakut-nakuti dan membatasi kebebasan berekspresi adalah Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Dalam catatan ELSAM sampai awal tahun 2014 saja sudah tercatat 32 kasus yang berkaitan dengan penggunaan pasal penghinaan/pencemaran nama baik, serta 5 kasus yang menggunakan pasal penyebaran kebencian dalam UU ITE. Korban utamanya adalah para pengguna media sosial terutama Facebook dan Twitter.
Hal lain yang dibahas oleh Wahyudi malam itu adalah tentang penapisan dan pemblokiran konten. Penapisan dan pemblokiran yang dilakukan di Indonesia dianggap masih semena-mena dan belum punya mekanisme yang memastikan adanya due process of law di dalam proses pemblokiran dan penapisan yang secara detail diatur oleh undang-undang. Penapisan semena-mena ini mengakibatkan banyaknya laman atau situs yang tidak terkait pornografi, pishing, judi atau hasutan yang menjadi korban. Dikuatirkan cara-cara pemblokiran semena-mena ini bisa disalahgunakan untuk memblokir atau menapis laman tertentu yang dianggap berbahaya bagi pemerintah.
Hal terakhir yang dibahas di awal diskusi adalah tentang perlindungan terhadap privasi atau data pribadi. Ancaman terhadap privasi ini makin meluas ketika terkuak berita bocornya praktek pengintaian dan penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat melalui National Security Agency. Ragam pertanyaan dilontarkan oleh peserta diskusi, khususnya yang menyangkut tentang ancaman pembatasan kebebasan berekspresi dengan ancaman Pasal 27 Ayat 3 UU ITE. Ragam pertanyaan mulai dari jenis alat elektronik yang masuk dalam ancaman jerat UU ITE Pasal 27 ayat 3 hingga tindakan yang diambil bila terlanjur kena jerat pasal tersebut.
Tema diskusi yang juga dihadiri aktifis mahasiswa dan beberapa pekerja media ini memang tergolong tema baru di Makassar. Tidak heran penjelasan panjang lebar dari Wahyudi membuka mata semua peserta betapa ancaman terhadap kebebasan berpendapat semakin nyata dan semakin dekat. Kalau selama ini sebagian besar peserta diskusi hanya mendengar kabar para korban jerat UU ITE yang jauh dari mereka, maka malam itu mereka sadar kalau UU ITE memang bisa menjerat siapa saja. Arsyad menjadi contoh nyata betapa UU ITE oleh sebagian orang berkuasa dijadikan senjata untuk menakut-nakuti mereka yang kritis.
Diskusi ditutup dengan kesepakatan untuk terus memberi dukungan moral pada Muhammad Arsyad yang masih menjalani proses hukumnya. Kekuatiran merebak, jika Arsyad benar-benar akhirnya divonis bersalah oleh hakim dengan menggunakan UU ITE tersebut maka bisa jadi “keberhasilan” tersebut akan digunakan sebagai senjata oleh orang berkuasa lainnya untuk makin menguatkan legitimasinya dan meredam kritikan serta kebebasan berpendapat.
SYAIFULLAH
Relawan SAFENET Makassar
Dokumentasi foto: