Ahmad Taufik dihukum pengadilan gara-gara tulisannya di Majalah TEMPO, lima tahun silam. Hari-hari berikutnya, “hukuman tambahan” pun berjatuhan mendera wartawan TEMPO ini. “Saya diteror orang melalui SMS (short message service),” kata pria berbaju batik itu saat bersaksi di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), pekan terakhir Juli 2008 silam. Jika hendak menulis? “Saya trauma, takut kalau diperkarakan lagi,” tambahnya di depan majelis MK diketuai oleh Jimly Asshidiqie itu. Banyak pula sumber berita yang menolak diinterview Taufik karena khawatir kasus serupa terulang.
Pengalaman Taufik yang dihukum hakim karena dianggap mencemarkan nama baik seorang pengusaha besar itu, mengutip Toby Mendel disebut sebagai “chilling effect.” Menurut, Yenti Ganarsih, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, kira-kira maksudnya “obatnya terlalu jahat dibanding penyakitnya.” Sudah jatuh ditimpa tangga pula.
Yenti adalah saksi ahli yang diajukan LBH Pers sebagai kuasa hukum pemohon yang meminta majelis MK mencoret sanksi pidana pencemaran dari pasal 310 dan 311 KUHP serta mencoret pasal 207 KUHP dari KUHP karena dianggap bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945 tentang pasal kebebasan berekspresi dan berpendapat, ciri negeri demokrasi yang mekar di Indonesia.
Sidang MK itu luar biasa. Kesaksian ahli Toby dilakukan melalui video conference, Inggris-Jakarta. Pria Kanada yang meneliti kasus kebebasan berpendapat di berbagai negara selama 19 tahun ini mengatakan bahwa hukum pencemaran nama baik tak lagi relevan. Banyak negara sudah mencoretnya dari KUHP. Meski beberapa negara masih mencantumkannya, tapi tak pernah memakainya. Sebaliknya, menggantinya dengan hukum perdata karena pidana pemenjaraan dianggap mengandung “chilling effect.”
Fenomena di negara maju seperti Eropa, Inggris dan AS, juga terjadi di Srilangka, India, dan Afrika. Termasuk Timorleste. Anehnya di Indonesia, menurut Atmaksumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers, ada 35 pasal dalam KUHP yang bisa memenjarakan wartawan, demonstran, penceramah, aktivis advokasi, bahkan penulis surat pembaca di media. Bahkan, di dalam RUU KUHP, pidana penghinaan diperberat. Jika dalam pasal 310 (1) KUHP dipidana 1 tahun 4 bulan penjara berubah menjadi pasal 530 (2) dengan pidana dua tahun penjara.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat boleh saja dibatasi. Tapi, menurut Toby, harus melalui UU yang disahkan DPR. Misalnya, yang menyangkut keamanan nasional. Bukan untuk interest oknum penguasa. Lagi pula, kasus pencemaran punya relativitas yang tinggi, subyektif dan penuh multitafsir. Yenti menyoal, apakah kasus seseorang yang disebut “bodoh” sebagai penghinaan? “Bukankah dia sendiri yang membuat dirinya bodoh,” kata Yenti “Jangan gara-gara kasus sejenis ini, seseorang dihukum sehingga berefek takut melakukan kritik. Itu penzoliman,” kata Yenti.
Koran Kengpo
Syahdan, kriminalisasi pencemaran itu bermula pada abad 13. Saat itu di Inggris, orang yang dihina menantang si penghina untuk berduel. Banyak sekali korban dan kegaduhan. Lalu, keluarlah Scandalum Magnatum, yang melarang penghinaan demi ketertiban umum. Tapi saat itu, dendam sangat dominan ketimbang perlindungan reputasi seseorang atau para raja, karena sulit dikonfirmasikan. Tapi apakah situasi abad ke 13 itu masih relevan dengan iklim demokrasi masa ini?
Justru di abad 21 ini, menurut Toby, Inggris dan India telah mencoret pasal pencemaran nama baik terhadap penguasa. Padanannya di Indonesia adalah pasal 207 dan 208 KUHP. Karena itu patut diapresiasi ketika MK membatalkan pasal 134, 136 dan 137 KUHP tentang penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden pada 2006 silam. Anehnya, pasal penghinaan terhadap penguasa, instansi di bawah presiden masih tertera di KUHP.
Menurut Toby, demokrasi butuh keterbukaan termasuk mengkritik institusi penguasa. Lagi pula reputasi institusi yang dikritik tidak akan tumbang hanya gara-gara kritik. “Toh bisa membantah melalui media,” kata Toby. Bahkan, menurut Bambang Harimurti, anggota Dewan Pers yang menjadi saksi dalam persidangan MK itu, tak seharusnya pejabat public yang dibiayai oleh public, kebal dari kritik dan kemudian mengkriminalkan si pengiritik secara hukum.
Ada pandangan menarik dari Nono Anwar Makarim, yang juga menjadi saksi ahli pemohon, bahwa hukum penghinaan hanya bisa ditujukan kepada perorangan. “Bukan institusi, seperti penguasa,” kata Nono mengutip Mr TJ Noyon, ahli pidana di Belanda dalam buku ” Het Wetboek van Strafrecht, Arnhem (1954).
Nono mengambil kasus berita koran Kengpo berjudul “Agar Diketahui Tuan Residen di Serang.” Isinya, Bupati Pandeglang telah menyelenggarakan pesta di alun-alun dengan memanfaatkan bambu dan tenaga kerja tanpa bayaran. Rakyat menangis tapi tak berani mengeluh karena itu adalah perintah bupati. Pesta itu dilakukan karena Belanda dan jajahannya berpesta untuk menantikan tibanya putri Beatrix pada 1938.
Kala itu, jaksa memakai pasal 310, 316 dan 207 KUHP. Tapi Raad van Justitie Batavia menolak pasal 207 KUHP dengan alasan bahwa yang dihina adalah si bupati pribadi. Bukan pemerintah Hindia Belanda. Tatkala jaksa banding, ternyata pengadilan tinggi, Hooggerechtshof Batavia memutuskan pengadilan pertama salah menerapkan hukum. Kengpo tetap dihukum dengan pasal 207 KUHP.
Padahal, menurut catatan Prof. Van Hattum, jika kasus itu terjadi di negeri Belanda, maka pasal yang diterapkan adalah padanan pasal 310 KUHP. Bukan yang berpadanan dengan pasal 207 KUHP. Van Hattum tidak sampai hati menambahkan bahwa di dalam Wetboek van Strafrecht Nederland tidak tercantum pasal 207 (dan 208) KUHP. Kedua pasal ini hanya dikenal di Hindia Belanda, negeri jajahan Belanda. Ironisnya masih berlaku di Indonesia abad 21 yang sudah merdeka dari penjajahan Belanda sejak 1945.
Semenjak itu berjatuhanlah berbagai korban. Misalnya, RM Tirtoadisuryo penerbit Medan Prijaji Bandung yang divonis penjara dan dibuang ke Pulau Tidore pada 1907. Pemred Soeara Batak, Hezekiel Manullang dipenjara di Tjipinang selama dua tahun setelah divonis PN Tarutung pada 1921. Pemred Indonesia Raya, Mochtar Lubis yang memberitakan kasus korupsi dibui 9 tahunpada 1956. Meski kemudian dibebaskan peradilan banding, tapi Lubis tetap dijebloskan CPM ke dalam bui.
Mochtar dibui lagi pada 1975 karena menulis kasus korupsi Pertamina. Korannya dibredel. Belakangan, Majalah TEMPO dibredel pada 1994 karena berita KKN pembelian kapal eks Jerman Timur. Betapa banyak wartawan yang menganggur. Anak istri mereka ikut jadi korban. Termasuk pemilik kios dan penjaja koran dan majalah yang mencari sesuap nasi. Chilling effect memang bagai gunung es yang terus memburu mangsanya.
BERSIHAR LUBIS, Wartawan dan Penulis
Dikutip dari Chilling Effect, Hukuman Berlipat Ganda, 3 September 2008