Mirza Alfath, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe Aceh dianggap melakukan pelecehan atas syariat Islam atas komentarnya di Facebook.
Berikut tulisan di Facebook Mirza yang ditulis 3 Juli 2012:
“Hukum Syariah jelas banyak sekali kelemahan dan kekurangan, ia sudah tidak layak lagi dipertahankan bagi manusia modern dan masyarakat maju. Hukum syariah hanya cocok pada jamannya ketika manusia masih minim ilmu pengetahuan.
Salah satu kelemahan syariah Islam adalah bahwa hukum-hukumnya tidak pernah memperkenankan ‘bukti-bukti lapangan’ dan ilmu pengetahuan dalam mengambil keputusan hukum, ia hanya bersandar pada saksi-saki yang ter-reputasi, misalnya dalam kasus pemerkosaan, “korban harus membawa 4 orang saksi yang melihat langsung untuk menjatuhi hukuman kpd tersangka “.Sementara dalam kasus perzinahan, perempuan hamil cukup dijadikan bukti perzinahan telah terjadi untuk di rajam (meskipun hukum rajam sendiri tidak diatur dalam Al-Quran). Adakah keadilan dalam hukum Allah yang katanya Maha Adil itu?”
Mirza akhirnya diamankan aparat Selasa malam (20/11/2012) atas tulisannya di dinding Facebook yang bernama Mirzanivic Alfathenev. Mirza mengkritik pelaksanaan Hukum Syariah di Aceh yang mayoritas penduduknya Muslim. Rumah Mirza sempat menjadi sasaran amuk massa dengan dilempari batu.
Hal ini dilakukan atas desakan warga terutama setelah Teuku Zulkhairi mengirimkan surat pembaca ke harian Serambi Indonesia yang berjudul “Akun Facebook ‘Mirza Alfath’ Menghina Islam”. Dikatakan Mirza sudah sering melakukan penghinaan terhadap Islam.
Mirza akhirnya mengakui bahwa akun Facebook tersebut miliknya dan dia dianggap telah sesat dari ajaran Islam oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Lhokseumawe. Mirza akhirnya meminta maaf kepada publik, Jumat (23/11/2012).
Kasus Mirza merupakan bagian dari ancaman kebebasan berekspresi di Indonesia. Dikutip dari Liputan6.com, Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai bahwa kritikan Mirza sebenarnya tidak masalah karena bahasanya tidak menyudutkan seseorang, tokoh agama atau anutan agama tertentu. Mirza hanya memberikan kritik terhadap kebijakan, tapi kembali lagi, mungkin standar di Aceh berbeda. Moral publik tergantung dari masyarakat lokal.
Lanjut Wahyudi mengatakan, dalam Article 19 tentang hak-hak sipil dan politik itu dijelaskan bahwa yang menjadi batasan adalah moral publik. Perlu dilihat lagi apakah ia terkena UU ITE atau KUHP. Biasanya dari kasus-kasus yang ada, itu dikenakan atas tuduhan syiar kebencian.
Kebebasan berekspresi itu dilindungi tapi Mirza juga terancam jika dianggap melakukan syiar yang meresahkan. Ancaman kriminalisasi adalah salah satu ancaman kebebasan berekspresi di internet.