
Hak Digital untuk Demokrasi dan Civic Space: Studi Pemetaan Regulasi Internet di Indonesia
Ruang gerak masyarakat sipil (civic space) tak hanya terbentuk di ruang fisik semata, tetapi dalam perkembangannya, juga meluas ke ruang digital. Ruang digital menjadi wadah bagi masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi mengekspresikan kebebasan sipil dan politik dalam tatanan masyarakat demokratis. Peluasan ini berdampak pada perlunya negara memberikan jaminan pemenuhan, penghormatan, dan pelindungan atas hak digital bagi masyarakat sipil. Interaksi dan aktivitas di ruang digital yang diatur dengan pendekatan hak asasi manusia memungkinkan masyarakat untuk dapat berkomunikasi, menjalankan kebebasan sipil, dan memengaruhi kebijakan tanpa takut akan penindasan, diskriminasi, atau kriminalisasi.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilik seberapa jauh negara memberikan jaminan pemenuhan, penghormatan, dan pelindungan atas hak digital tersebut dalam tatanan negara demokrasi dan peluasan ruang gerak masyarakat sipil (civic space), yang dituangkan dalam Laporan Penelitian “Hak Digital untuk Demokrasi dan Civic Space: Studi Pemetaan Regulasi Internet di Indonesia”. Pada laporan penelitian ini, SAFEnet dan PSHK memetakan regulasi internet dan ruang digital di Indonesia serta mengidentifikasi celah pada tiap pengaturan untuk mewujudkan regulasi tata kelola internet yang berbasis hak asasi manusia. Tolok ukur analisis regulasi tata kelola internet tersebut merujuk pada The Charter of Human Rights and Principles for the Internet (ICRP), terutama untuk menghasilkan pengaturan tata kelola internet yang memperhatikan aspek akses internet, aspek proteksi dan keamanan digital, serta aspek kebebasan (liberty). Studi ini menggunakan tiga metode penelitian, yaitu regulatory gap analysis (analisis kesenjangan kebijakan), studi literatur, dan studi kasus selektif.
Berdasarkan temuan dan analisis dari SAFEnet dan PSHK, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, saat ini terdapat 13 (tiga belas) undang-undang dan 153 (seratus lima puluh tiga) pasal yang mengatur tata kelola internet di Indonesia. Dari jumlah tersebut, ditemukan terdapat 51 (lima puluh satu) norma yang mengatur aspek akses internet atau setara dengan 33.3% (tiga puluh tiga koma tiga persen), 80 (delapan puluh) ketentuan yang mengatur aspek proteksi dan keamanan digital atau setara dengan 52.3% (lima puluh dua koma tiga persen), dan 22 (dua puluh dua) ketentuan yang mengatur aspek kebebasan (liberty) atau setara dengan 14.4% (empat belas koma empat persen). Dari data tersebut, terlihat bahwa orientasi pengaturan tata kelola internet yang tersebar pada 13 (tiga belas) undang-undang tersebut memiliki kecenderungan proteksionis (protection heavy). Artinya, negara memiliki kecenderungan untuk mengontrol warga negara dalam beraktivitas di ruang digital. Paradigma ini diperkuat dengan minimnya jaminan kebebasan dalam undang-undang-undang yang menjadi objek riset, dalam hal ini, jaminan kebebasan hanya ditemukan dalam sembilan undang-undang saja. Sementara pada aspek akses, pengaturan lebih banyak kaitannya dengan keterbukaan informasi.
Kedua, implementasi peraturan perundang-undangan yang sudah dibahas sebelumnya tidak cukup melindungi masyarakat sipil dalam beraktivitas di ruang digital. Dalam temuan ini, upaya controlling dari negara tidak hanya terlihat dari banyaknya aspek proteksi yang diatur, kecenderungan ini terlihat hingga pada tahap implementasi. Pada aspek akses internet, masih seringkali terdapat pembatasan dengan tidak proporsional, transparan, dan sesuai dengan kebutuhan. Di sisi lain, pasal-pasal yang mengatur mengenai proteksi justru masih banyak yang dijadikan sebagai justifikasi untuk melindungi pandangan mayoritas saja atau hanya menguntungkan kepentingan individu yang timpang kuasanya dengan mengkriminalisasi masyarakat, terutama kelompok rentan. Pada aspek kebebasan, selain jaminan pelindungan yang minim, dalam implementasinya, pasal-pasal yang mengatur mengenai jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi jarang digunakan.
Ketiga, kendati pengaturan tata kelola internet cenderung bersifat proteksionis, tidak terdapat penekanan pada akuntabilitas negara untuk bertanggung jawab dan memberikan pemulihan atas kesalahan atau kelalaian instansi negara yang berujung pada kerugian bagi masyarakat. Kasus-kasus yang diteliti juga menunjukkan tidak berjalannya akuntabilitas, baik dalam kasus-kasus individual maupun pelanggaran HAM oleh negara.
Keempat, pengaturan tata kelola internet bukan merupakan isu sektoral, sehingga terdapat pertautan antara aspek pengaturan pada norma di satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Kelima, undang-undang yang berusia lebih dari lima tahun harus diperbarui agar lebih relevan dan sesuai dengan konteks perkembangan pemanfaatan ruang digital dan pelindungan pengguna ruang digital dewasa ini. Misalnya, UU Pers agar dapat melindungi kebebasan jurnalis yang membagikan informasi melalui platform media sosial, serta UU Pemilu dan UU Pilkada, misalnya agar terdapat aturan kampanye yang lebih relevan dengan pemanfaatan sosial media saat ini.
Keenam, pengaturan tentang tata kelola internet yang ada saat ini belum cukup efektif memberikan pelindungan kepada kelompok rentan, yaitu kelompok perempuan, kelompok minoritas kepercayaan, kelompok keberagaman gender, jurnalis, dan masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan. Alih-alih memberikan pelindungan, ketentuan yang ada malah mengekang kebebasan dan mengancam keselamatan kelompok rentan tersebut, seperti kriminalisasi menggunakan UU ITE dan UU Pornografi.
Ketujuh, jangkauan ketentuan hukum yang ada saat ini belum cukup untuk mendorong akuntabilitas platform media sosial. Belum terdapat pengaturan di level undang-undang yang menjadi dasar pertanggungjawaban dan transparansi bagi platform media sosial dalam mengeset algoritma dan memoderasi konten untuk dicermati pengguna media sosial.Hukum tentang tata kelola internet yang ada saat ini belum menggunakan pendekatan untuk mengakomodasikan hak asasi manusia, terutama hak digital masyarakat. Hal ini menggambarkan jelas bahwa terdapat potensi ancaman terhadap demokrasi dan penyempitan ruang gerak masyarakat sipil di ruang digital, termasuk pemenuhan hak-hak digital. Celakanya, kebebasan di ruang digital terkait dan tidak dapat dipisahkan dari kebebasan di ruang fisik. Artinya, hilangnya kebebasan di ruang digital dapat berarti kehilangan berganda.
Selengkapnya, dapat mengakses laporan penelitian pada link berikut