Jhon LBF Benarkan Terjadi Pelanggaran Hak-hak Pekerja di Hive Five

TIM-ASTAGA

TIM ADVOKASI SEPTIA GUGAT NEGARA ABAI

          Jl. Hayam Wuruk 4 SX – TX, Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat 10120 – INDONESIA 

Jhon LBF Benarkan Terjadi Pelanggaran Hak-hak Pekerja di Hive Five

Sidang kriminalisasi buruh perempuan Septia Dwi Pertiwi dilanjutkan dengan pemeriksaan Jhon LBF sebagai saksi pelapor. Pada persidangan ini, Jhon LBF tidak membantah bukti-bukti yang dijabarkan oleh kuasa hukum Septia terkait pelanggaran hak pekerja yang terjadi di Hive Five.

Kuasa hukum Septia dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong, menyoroti beberapa fakta persidangan yang terjadi. Secara garis besar, Mustafa menilai Septia dapat membuktikan tuduhan-tuduhan yang dipermasalahkan oleh Jhon LBF.

Tweet Septia terkait uang lembur terbukti. Memang tidak ada uang lembur. BPJS beberapa bulan juga tidak dibayar dan berbeda dengan yang dilaporkan. Upah pokok (Septia) 4 juta, tapi yang dilaporkan hanya 2 juta. Otomatis potongan perusahaan ke BPJS juga berkurang. Slip gaji yang tidak diberikan juga terbukti. Meskipun Jhon LBF membantah, tapi dia tidak tahu apakah faktanya Septia memang menerima atau tidak. Akibatnya, ia tidak berhak untuk menyatakan bahwa itu bohong karena tidak tahu faktanya,” ujar Mustafa.

Ia juga menyoroti terkait kerugian yang menurut Jhon LBF ia alami akibat cuitan Septia. “Kalaupun ada kerugian, seharusnya yang mengalami adalah perusahaan karena kerjasamanya adalah antar perusahaan, bukan dengan individu, melainkan antara bisnis dengan bisnis. Baik Jhon LBF maupun saksi kedua (Ahmad Dion), mengatakan bahwa kerja sama (itu) antara Lima Sekawan Indonesia dan kantor hukum dia,” tambahnya.

Sementara itu, kuasa hukum Septia lainnya dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menyoroti fakta-fakta persidangan lain yang terungkap, seperti intimidasi dan ancaman yang kerap dilakukan Jhon LBF terhadap karyawannya yang dinilai lamban dalam merespons pesan singkatnya, penerapan sistem shift tanpa ada pemisahan grup, tidak adanya uang lembur untuk karyawan yang bekerja melebihi jamnya, hingga Jhon LBF yang kerap mengirim pesan di tengah malam.

“Kami (kuasa hukum) mempertanyakan tangkapan layar percakapan di grup yang dikirimkan oleh Jhon LBF yang berisi ancaman pemotongan gaji. Dalam kesaksiannya, Jhon LBF menyatakan benar bahwa pesan tersebut dikirimkan olehnya. Jhon bilang ancaman terhadap pemotongan gaji merupakan gertakan atau ancaman semata. Menurut pengakuannya, pemotongan gaji terhadap para pekerja di PT. Lima Sekawan tidak pernah benar-benar dilakukan. Namun, pada faktanya, Septia pernah mengalami pemotongan gaji terhadap upah yang diterimanya” ujar Gina.

Gina juga menyoroti persoalan kerja shift yang terungkap selama persidangan. “Jhon LBF, membenarkan terdapat jam kerja di luar jam kerja 09.00 sampai 17.30 yang menjadi jam pokok kerja. Jhon mengatakan shifting diberlakukan khusus Divisi Marketing untuk menyambut atau menerima berbagai prospek klien di luar jam kerja. Ia juga menyatakan bahwa hal tersebut sama-sama disepakati dengan para karyawan. Namun, ketika tim kuasa hukum melakukan konfrontasi dan mempertanyakan apa landasan dari shifting tersebut, ternyata, kerja shift sebagai perpanjangan jam kerja di luar jam kerja tersebut tidak disebutkan dan tidak terdapat di dalam peraturan PT. Lima Sekawan,” terang Gina.

Bukti tangkapan layar lainnya yang ditunjukkan oleh kuasa hukum memperlihatkan percakapan di grup yang berisi ancaman maupun pesan Jhon LBF untuk segera mengangkat teleponnya di luar jam kerja. “Jhon LBF berkilah bahwa itu merupakan bagian dari motivasi, yang menurutnya, selama masih muda maka masih harus bekerja keras. Juga sebagai bagian dari motivasi bagi para pekerja supaya lebih sukses,” tandas Gina.

Fakta terakhir yang terungkap selama persidangan menurut Gina adalah soal tidak adanya uang lembur sebagai upah tambahan dari pekerjaan yang dilakukan di luar jam kerja pokok. “Ia (Jhon LBF) berkilah bahwa uang tambahan tersebut merupakan insentif yang akan diterima karyawan setiap bulan ketika berhasil meng-closing klien. Hal ini sebenarnya mengafirmasi bahwa sebenarnya ada jam kerja panjang yang eksploitatif dan tidak memberikan hak-hak pekerja yang lembur dengan dalih keberadaan sistem insentif. Padahal, insentif hanya akan diberikan jika karyawan berhasil meng-closing klien. Apabila, karyawan telah melakukan lembur tapi tidak meng-closing klien, maka ia juga tidak akan mendapatkan insentif,” tutupnya.

Ernawati dari Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) juga mengkhawatirkan pernyataan Jhon LBF selama persidangan. “Pertama, saya mau sampaikan Jhon LBF tidak memahami tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan, di mana sistem pengupahan yang dia bikin itu ada atas suka-suka dia, tapi tidak mengacu pada sistem pembayaran upah. Contohnya, upah lembur dihitungnya insentif padahal upah lembur itu yang wajib dibayar dan tidak bisa dibayar sesukanyanya saja,” tegas Erna.

Kasus Kriminalisasi Septia

Septia adalah seorang eks-buruh di Hive Five (PT. Lima Sekawan) milik influencer Jhon LBF. Ia dilaporkan oleh mantan atasannya itu setelah menceritakan pelanggaran hak-hak pekerja yang dialaminya selama bekerja di perusahaan tersebut melalui akun X miliknya. Berbagai dugaan pelanggaran hak pekerja yang dialami Septia di antaranya adalah pemotongan upah sepihak, upah di bawah UMP, jam kerja berlebihan, tidak ada BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, tidak ada slip gaji, hingga tidak ada salinan kontrak.

Pada 26 Agustus 2024, Septia sempat ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pasca persidangan yang berlangsung pada 19 September 2024, ia dilepaskan dan menjadi tahanan kota. Hingga saat ini, Septia berstatus sebagai tahanan kota.

Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Septia telah melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik dan melapisinya dengan Pasal 36 UU ITE tentang pelanggaran yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Akibatnya, saat ini Septia terancam 12 tahun bui.

Tim kuasa hukum Septia sebelumnya sudah mengajukan eksepsi. Beberapa hal yang menjadi argumentasi eksepsi adalah soal kewenangan PN Jakpus untuk mengadili kasus Septia, legal standing Jhon LBF sebagai pelapor, kebebasan berekspresi Septia sebagai korban pelanggaran hak-hak pekerja, tidak diupayakannya restorative justice oleh JPU, serta penggunaan pasal karet di UU ITE lama oleh JPU, padahal sudah ada UU ITE yang baru.

Namun, permohonan eksepsi itu ditolak oleh majelis hakim pada sidang putusan sela yang berlangsung pada 3 Oktober 2024 lalu. Akibatnya, proses kriminalisasi terus berlanjut hingga hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dokumentasi persidangan, rekaman video:

Kontak media

Untuk informasi lebih lanjut terkait kriminalisasi Septia ini, media dapat menghubungi:

a. PBHI (0895-3855-87159)

b. SAFEnet (0811-9223-375)

c. GSBI (0811-7486-731)

Organisasi Masyarakat Sipil yang Terlibat: 

1. Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB)

2. Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia)

3. Federasi Buruh Karawang (FBK)

4. Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI)

5. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)

6. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) 

7. Koalisi Perempuan Indonesia 

8. Konfederas Buruh Merdeka Indonesia (KBMI)

9. Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)

10. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)

11. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)

12. Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN)

13. LBH Pers 

14. Marsinah.id

15. Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) 

16. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)

17. Resister Indonesia 

18. Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN)

19. Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92 (SBSI ‘92)

20. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) 

21. Serikat Pekerja Nasional (SPN)

22. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)

23. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) 

24. Trade Union Rights Center (TURC)

25. WeSpeakUp

26. Yayasan Kalyanamitra