Sidang praperadilan perdana kasus kriminalisasi dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan (FH Unpak) Bintatar Sinaga dilakukan hari ini, 11 Desember 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Langkah praperadilan diambil karena terdapat banyak kejanggalan dalam kasus ini. Kejanggalan-kejanggalan ini memperlihatkan bahwa penetapan tersangka Bintatar cacat secara formiil maupun materiil. Sayangnya, pihak kepolisian yang digugat oleh pengacara Bintatar tidak hadir sehingga persidangan harus diundur.
“Memang sangat disayangkan. Kami rakyat dituntut untuk menjadi warga negara yang baik ketika ada panggilan dari pengadilan. Sedangkan, instansi yang memiliki fungsi pengayoman seolah-olah dengan tidak hadir tanpa berita. Ini merupakan sebuah contoh yang tidak baik” ujar Ketua Tim Hukum Bintatar, Angga Perdana, M.H. Walaupun agak was-was, Angga menyatakan pihaknya tetap patuh terhadap jalannya persidangan.
Sebelumnya, pada 3 November 2023, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) telah menetapkan Bintatar Sinaga sebagai tersangka dalam kasus penghinaan dan pencemaran nama baik. Bintatar dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 310, 311, dan 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia dijerat setelah video yang menunjukkan dirinya berorasi beredar di media sosial. Dalam orasinya, ia mengkritik kinerja eks-Dekan FH Unpak Yenti Garnasih dengan menyebut Yenti sebagai “anak kualat” dan “anak durhaka”.
Koalisi Serius, menilai kasus ini secara terang benderang cacat hukum dan dipaksakan untuk terus berlanjut. Digunakannya Pasal 27 ayat (3) untuk memperkarakan Bintatar sangat tidak masuk akal karena ia bahkan tidak memiliki akun media sosial. Alat bukti yang digunakan oleh Bareskrim Polri untuk menetapkan Bintatar sebagai tersangka hanya merujuk pada keterangan saksi dan saksi ahli, tanpa ada satupun alat bukti yang mampu membuktikan bahwa Bintatar telah “mentransmisikan”, “mendistribusikan”, ataupun “dibuat dapat diaksesnya” video yang dianggap berisi pencemaran nama baik itu. Selain itu, Bintatar juga tidak pernah dimintai keterangan atau undangan klarifikasi sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini juga terlihat jelas dipaksakan karena pelapor yang merupakan eks-tim Pansel KPK telah membuat Laporan Polisi (LP) sebanyak dua kali. Baru setelah LP kedua yang dibuat pelapor pada 4 September 2023, Bareskrim Polri menetapkan Bintatar sebagai tersangka. Hal ini jelas menabrak Pasal 74 KUHP yang menyatakan masa daluwarsa dalam pengajuan laporan ke polisi adalah 6 bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu bila ia berada di Indonesia dan 9 bulan bila berada di luar negeri. Video yang dilaporkan diambil dan disebarkan pada 7 Maret 2023, yang jelas telah melewati masa daluwarsa.
Secara materiil, Bareskrim Polri juga telah bertindak secara tidak profesional dengan mengabaikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE. SKB yang juga ditandatangani oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara jelas, tegas, dan lugas telah menyatakan bahwa bukan sebuah delik pidana apabila berbentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
Oleh karena itu, Koalisi Serius mendesak PN Jaksel untuk menghentikan kasus Bintatar Sinaga ini demi hukum. Jika tidak, maka PN Jaksel memberikan pendidikan hukum yang buruk terhadap seluruh mahasiswa fakultas hukum serta turut berperan dalam penyempitan ruang sipil di Indonesia dengan melanggengkan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.