Pada Kamis, 10 Agustus 2023 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis bersalah kepada Wahyu Dwi Nugroho karena melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian. Hal ini membuktikan kembali bahwa pasal karet UU ITE menjadi alat yang efektif digunakan oleh pihak yang memiliki kuasa untuk membungkam ekspresi masyarakat.
Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim, Wahyu divonis hukuman lima bulan penjara dan denda Rp1 juta karena menyuarakan keluhannya sebagai pedagang atas pemasangan spanduk berbunyi ““PERHATIAN! DILARANG KERAS! Berbelanja di warung-warung di seputar Al-Busyro. Sanksi: Anda Diberhentikan dari Majelis Ta’lim” di kawasan Majelis Taklim ZM Albusyro. Wahyu mengunggah video dengan menuliskan keberatannya terkait spanduk tersebut di TikTok pada pertengahan 2022, isinya, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Sedih banget bacanya. Toko kami nggak besar, cuma cukup buat makan sehari-hari dan sekolah anak. Nggak juga bisa beli tanah atau rumah. Kok sampai hati bikin spanduk seperti ini ya.”
SAFEnet menilai, vonis bersalah hakim terhadap Wahyu dan sanksi pidana penjara serta denda tidak tepat dan hal ini akan menjadi preseden yang buruk dalam mengadili kasus-kasus serupa. Pernyataan Wahyu yang sebenarnya tidak ditujukan untuk menimbulkan kebencian kelompok dan semata-mata hanya memperlihatkan keberatannya atas pemasangan spanduk itu seharusnya tidak dijatuhi sanksi pidana dan karenanya putusan yang dijatuhkan pada Wahyu telah melanggar prinsip perlindungan kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Indonesia dan pasal 19 ICCPR.
Laporan yang dihimpun oleh koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Sementara itu, SAFEnet mencatat sepanjang 2022 ada sebanyak 97 kasus pemidanaan yang melibatkan 107 orang terlapor. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2021 yakni sebanyak 30 kasus dengan 38 orang korban kriminalisasi.
Kasus Wahyu ini sekali lagi membuktikan bahwa UU ITE bisa menjerat siapa saja, termasuk pedagang kecil dan masyarakat umum yang berusaha memperjuangkan haknya. Jika hal seperti ini terus berlanjut maka akan merusak demokrasi Indonesia. Padahal seharusnya semua pihak lebih terbuka dan lebih bijak dalam menyikapi kritik dan perbedaan pendapat. Pendekatan penyelesaian kasus-kasus seperti ini dengan menggunakan UU ITE sangatlah berlebihan dan bertentangan nilai-nilai HAM.
Oleh karena itu, SAFEnet sebagai organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital warga di Asia Tenggara, menyatakan:
- Menyesalkan hasil putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Wahyu karena mengabaikan asas perlindungan kebebasan berekspresi yang diatur dalam konstitusi dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Juga atas kenyataan majelis hakim mengabaikan keberadaan Surat Keputusan Bersama 3 Lembaga atas Implementasi UU ITE. Hal ini juga menunjukkan bahwa SKB 3 Lembaga tidak efektif dalam menangani permasalahan kriminalisasi ekspresi dengan UU ITE.
- Mendesak pemerintah dan DPR-RI untuk menghapus seluruh pasal bermasalah dalam proses revisi kedua UU ITE dan memastikan tidak adanya tambahan pasal karet yang dapat membuat ketidakpastian hukum dan mencederai rasa keadilan di dalam masyarakat.
- Mengimbau kepada aparat penegak hukum untuk lebih bijak dalam menangani kasus yang menggunakan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE dengan mengedepankan penyelesaian perkara di luar jalur peradilan.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan kepada masyarakat, agar mewaspadai ancaman kebebasan berpendapat, sekaligus bersama mengawal demokrasi di Indonesia.
Denpasar, 11 Agustus 2023
Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet
[email protected]