Kapasitas Keamanan Digital OMS di Indonesia Masih Rendah

Meskipun jumlah dan model serangan digital terhadap jurnalis, aktivis, dan pembela hak asasi manusia (HAM) lain di Indonesia semakin meningkat, tetapi di sisi lain, kapasitas korban di bidang keamanan digital justru masih rendah. Untuk itu, perlu ada peningkatan kapasitas dengan melibatkan mereka dalam program.

Situasi itu tergambar dalam diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) SAFEnet pada Rabu, 14 Juli 2022 secara daring. FGD daring ini merupakan bagian dari program peningkatan kapasitas keamanan digital SAFEnet dengan dukungan Kedutaan Kerajaan Belanda di Indonesia.

FGD menghadirkan tiga narasumber sebagai pemantik diskusi, Eko Rusdianto, jurnalis lepas di Makassar yang pernah jadi korban serangan digital; Nono, Ketua Divisi Advokasi dan Penelitian Arus Pelangi; serta Farhanah, anggota Tim Reaksi Cepat (TRACE) dan Digital Protection Facilitator Digital Defenders Partnership (DDP).

Eko menjadi korban serangan digital pada Oktober 2021 setelah menulis tentang korban kekerasan seksual yang kasusnya tidak ditangani dengan baik meskipun sudah lapor ke polisi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Setelah tulisan itu terbit di media independen Project Multatuli dan viral lewat tagar #PercumaLaporPolisi, Eko mendapatkan serangan digital.

Serangan itu lebih bersifat halus (soft attack) dengan metode pelabelan sebagai berita tidak benar (hoaks) terhadap tulisan Eko. Polres Luwu Timur melalui akun Instagramnya, menyebarkan tuduhan itu. Beberapa jurnalis setempat kemudian mengamini tuduhan itu dengan membuat berita bahwa tulisan Eko tidak benar.

“Sebarannya masif karena dilakukan hingga Polsek,” kata Eko.

Menurut Eko, serangan digital serupa bisa terjadi tidak hanya terhadap jurnalis, tetapi juga penulis blog dan peneliti. Dia menyebutkan kasus kriminalisasi menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan oleh masyarakat adat.

Selain secara halus, serangan digital terkait hasil reportase Eko juga terjadi pada Project Multatuli yang menerbitkan tulisan Eko. Media daring ini sempat mengalami serangan dalam bentuk distributed denial-of-service (DDoS). Serangan digital terhadap media ini juga pernah terjadi terhadap Tempo dan Tirto pada 2020 setelah menulis kritik terhadap penanganan pandemi COVID-19.

Serangan yang Beragam

Kelompok lain yang juga rentan mengalami serangan digital adalah komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ). Bentuk serangan digital terhadap komunitas LGBTQ bahkan lebih beragam dan spesifik.

Nono, Ketua Divisi Advokasi dan Penelitian Arus Pelangi, menyebutkan beberapa bentuk serangan digital terhadap komunitas LGBTQ tersebut adalah perundungan daring (cyber bullying) dan ujaran kebencian, peretasan situsweb, persekusi daring, impersonasi, dan trolling. Ada juga pelaporan unggahan di media sosial dan bahkan pemblokiran aplikasi kencan (dating apps) untuk komunitas ini.

Jika melihat dari kaca mata hak-hak digital, serangan digital terhadap komunitas LGBTQ terjadi mulai dari tingkat paling awal, yaitu hak untuk mengakses Internet, hingga tingkat paling tinggi, yaitu hak atas rasa aman.

Lebih lanjut Nono menjelaskan, komunitas LGBTQ paling sering mendapatkan serangan dalam bentuk komentar yang merendahkan di media sosial. “Bahkan kadang-kadang ujaran kebencian itu dilakukan meskipun tidak terkait dengan orientasi seksual,” kata Nono.

Media sosial pula yang sering digunakan pelaku serangan untuk menelusuri aktivitas kelompok LGBTQ. Kemudian mereka akan melaporkan kepada platform agar unggahan itu dihapus dengan alasan tidak sesuai dengan moral dan budaya di Indonesia.

Ketika bentuk serangan digital semakin beragam, kelompok LGBTQ juga menghadapi banyak tantangan. Di antaranya, Nono melanjutkan, regulasi yang mendiskreditkan dan mendiskriminasi komunitas LGBTQ, seperti Undang-undang Pornografi dan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S).

“Di sisi lain, budaya keamanan digital komunitas LGBTQ juga masih rendah. Misalnya, teman-teman masih suka berbagi password atau chat sembarangan di tempat publik,” ujar Nono.

Rencana Keamanan

Berdasarkan pemantauan SAFEnet, selama dua tahun terakhir, serangan digital terhadap kelompok kritis di Indonesia memang terus meningkat. Pada tahun 2020, jumlah serangan digital terhadap media, jurnalis, aktivis, dan pembela hak asasi manusia sebanyak 44,9 persen dari 147 insiden. Pada tahun 2021, jumlah serangan terhadap kelompok ini naik menjadi 58,95 persen dari total 193 insiden yang berhasil dipantau.

Serangan digital ini cenderung naik ketika ada isu kontroversial di tingkat nasional. Pada tahun 2020, misalnya, serangan masif terjadi terhadap aktivis yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Pada tahun 2021, serangan digital secara masif terjadi pada aktivis yang menolak pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tahun ini, puncak serangan berupa peretasan akun WhatsApp terjadi pada April 2022, terutama pada aktivis mahasiswa yang menolak wacana perpanjangan periode jabatan Presiden Joko Widodo. Lebih dari 20 mahasiswa menjadi korban peretasan, terutama pada akun WhatsApp dan Instagramnya.

Melihat maraknya serangan digital terhadap kelompok kritis itu, Farhanah, mengajak agar masyarakat sipil Indonesia lebih meningkatkan kapasitas keamanan digitalnya. Tahapan peningkatan itu mulai dari penilaian awal (assessment) hingga membuat strategi mitigasi.

“Kita bisa mulai dengan melakukan penilaian kapasitas keamanan digital, termasuk risiko, ancaman kerentanan, dan bagaimana kemampuan kita menghadapinya,” kata Farhanah, Digital Protection Facilitator Digital Defenders Partnership (DDP) ini.

Menurut Farhanah kapasitas keamanan digital yang perlu ditingkatkan itu mencakup keterampilan sumber daya manusia, prosedur penanganan insiden, dan penyediaan sumber daya seperti alat dan infrastruktur.

Saran Farhanah ini sejalan dengan program yang sedang dilaksanakan SAFEnet selama dua tahun ke depan. Program yang didukung Kedutaan Kerajaan Belanda di Indonesia ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas keamanan digital organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Bentuk kegiatan program ini termasuk pelatihan untuk pelatih (ToT) keamanan digital, pelatihan dasar di tujuh kota, serta pendampingan bagi korban serangan digital.