Sebagai bagian dari program “Melawan narasi kebencian dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan ekspresi di ranah digital”, SAFEnet melaksanakan riset pada tahun 2021 lalu. Boaz Simanjuntak, sukarelawan SAFEnet sekaligus peneliti isu keamanan, menjadi peneliti utama riset ini.
Berikut adalah rangkuman hasil riset tersebut.
Jika mengacu pada Konvensi Internasional, definisi ujaran kebencian dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis tertentu; seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan; hasutan untuk melakukan tindak terorisme; dan ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan genosida. Namun, hingga saat ini definisi ‘ujaran kebencian’ di Indonesia masih terlalu luas dan gampang dimanfaatkan.
Definisi itu semakin luas jika melihat kasus-kasus ujaran kebencian di Indonesia yang menggunakan media digital. Hal ini karena dunia digital memiliki potensi untuk menaikkan ujaran kebencian, kanal penyebaran, tempat bertemunya iliterasi lintas identitas, dan wadah untuk menolak yang berbeda (the others) dari diri serta kelompoknya.
Ujaran kebencian juga seringkali digunakan untuk menyerang lawan politik, orang-orang yang tidak berkepercayaan (non-believers), orang-orang yang berbeda pandangan (dissenters), dan kritik.
Riset ini menemukan bahwa pola ujaran kebencian juga bisa terjadi karena alasan agama, baik antaragama, sebagaimana terjadi dalam konflik di Ambon, maupun di dalam agama yang sama, seperti terjadi dalam kasus Ahmadiyah dalam Islam atau Hare Krisna dalam Hindu. Pola lainnya melalui kontestasi pemilihan kepala daerah di mana ujaran kebencian terhadap kelompok lain disebarluaskan melalui WhatsApp group.
Selain itu, pola yang juga digunakan adalah labelisasi terhadap identitas gender dan orientasi seksual. Kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) ini bahkan dipersekusi langsung setelah diancam melalui media digital. Pola selanjutnya adalah membedakan kelompok difabel secara kemampuan fisik sehingga mereka dianggap eksklusif.
Ujaran kebencian juga terjadi dengan mengawasi mahasiswa dari etnis Papua yang akan melakukan aksi. Mereka akan diawasi dengan ketat termasuk dengan menyebarkan data-data pribadi para mahasiswa Papua disertai narasi yang merendahkan. Terakhir, pola ujaran kebencian ini juga terkait dengan melabeli kelompok lain sebagai kasta yang lebih rendah dalam hal pemakaman, di Bali, di mana ujaran kebencian disebarkan melalui media sosial dan Whatsapp.
Ada bermacam isu yang spesifik terkait ujaran kebencian dalam riset ini, temuannya antara lain berhubungan dengan hal mendasar seperti: ekonomi warga dan posisi jabatan yang beririsan dengan kepentingan kelompok, dalam hal ini adalah agama tertentu, contohnya konflik Ambon.
Hal remeh-temeh dan kemudian berujung ujaran kebencian juga bisa terkait dengan memori konflik komunal di Kalimantan yang terkait suku dan agama, bahkan dari hal yang kecil seperti parkir kendaraan. Hal menarik yang bisa saja terkait dengan isu ekonomi yang beririsan dengan ujaran kebencian adalah perebutan jamaah sebuah kelompok keagamaan.
Masih terkait dengan ekonomi, ternyata ujaran kebencian bukan hanya terjadi antara in-group dan out-group tetapi juga di dalam in-group, seperti di kalangan pekerja seks, persaingan yang diumbar di media sosial sehingga yang dianggap sebaga pesaing di dalam kelompoknya mengalami persekusi langsung maupun tidak langsung dari orang lain di luar kelompoknya.
Selain itu, ada pula cara-cara lama terkait ujaran kebencian, yang kerap digunakan dan nampaknya belum berakhir. Narasi ‘Surga’ dan ‘Neraka’ yang dikaitkan dengan pilihan seksual seseorang dan difabel ragam netra yang dianggap tidak layak untuk menjual makanan-minuman, karena tidak bisa melihat, dikhawatirkan tidak higienis dalam penyajiannya.
Berdasarkan kasus ujaran kebencian dari cerita responden, terbagi menjadi tiga, yaitu gender, SARA, dan difabel. Gambaran bahwa isu SARA yang beririsan dengan politik identitas menunjukkan posisinya yang tinggi untuk ujaran kebencian (62%). Ujaran kebencian terkait status sebagai penyandang disabilitas (23%). Ujaran kebencian terkait gender (15%).
Temuan khusus berdasarkan klasifikasi kasus adalah penyandang disabilitas mempunyai potensi paling besar terkena percampuran ujaran kebencian, temuan di riset ini adalah percampuran ujaran kebencian terkait SARA dan difabel.
Dalam hal mitigasi korban, riset ini menemukan beragam upaya, sebagai gambaran dari tindakan pribadi dan kelompok untuk mengatasi ujaran kebencian. Berdamai dengan diri sendiri, keluar dari wilayah konflik, dan bertemu dengan yang berbeda dari kelompoknya saat konflik, contohnya konflik Ambon atau menjauhkan diri dari keluarga besar selama bertahun-tahun dan menutup diri sebagai bagian dari Ahmadiyah di media sosial.
Kedua, menjauhkan diri dari kelompok-kelompok yang kental dengan ujaran kebencian dan masuk ke dalam kelompok-kelompok yang bekerja dalam isu perdamaian atau pindah tempat bekerja dan memilih tempat yang bisa menerima kepercayaan yang dianutnya, contohnya kelompok Atheis atau bergabung dengan kelompok-kelompok yang bisa menerima keberadaan kelompoknya, contohnya kelompok Ahmadiyah di Kalimantan Barat yang dekat dengan Dewan Adat Dayak, sebagai bagian dari mengedukasi publik melalui media sosial dengan konten yang menggambarkan siapa Ahmadiyah sebenarnya.
Dan yang ketiga, adalah gambaran miring tentang peran pemerintah dalam mengatasi ujaran kebencian akan berganti dengan masih ada harapan untuk bekerja sama dengan aparat negara. Cara-cara seperti berdialog dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di pemerintahan lokal untuk menempatkan isu difabel sebagai isu yang lintas SKPD, untuk meredam ujaran kebencian terhadap kelompok difabel di kota Makassar. Selain itu, pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) oleh pemerintah lokal sebagai upaya meredam kebencian terhadap kelompok Transpuan di Bali. Serta menjadikan pemerintah lokal sebagai mitra sejajar untuk melakukan tanggung jawab kolektif seperti dalam penyusunan Perwali di kota Makassar.
Yang menjadi catatan menarik dari riset ini adalah Indonesia mempunyai banyak cara yang efektif untuk mencegah ujaran kebencian dari masing-masing daerah, ini berarti turunan peraturan pemerintah pusat ke daerah bisa disesuaikan dengan konteks lokal dengan melibatkan semua pihak, terutama kelompok-kelompok marjinal.
Laporan lengkap riset tersebut bisa dibaca dalam versi bahasa Indonesia maupun Inggris.