Masih minimnya kesadaran akan apa itu keamanan digital, berkembang dengan maraknya penyebaran konten-konten yang belum jelas terverifikasi di dunia internet, itulah yang mendasari diadakannya kelas dengan konsep klinik kesehatan digital. Klinik Kesehatan Digital dengan tagline “Antisipasi Sebelum Malu Sendiri” dalam rangka Pekan Aman Berinternet di Denpasar, Bali berlangsung pada Minggu (25/2). Kolaborasi antara SAFEnet dan BaleBengong, portal jurnalisme warga di Bali ini diadakan di kantor Sloka Institute, Jalan Noja Ayung, Gatot Subroto Timur, Denpasar, Bali.
Kurang lebih 17 orang yang hadir dalam kelas yang membahas 3 materi selama dua jam tersebut. Jumlah ini termasuk dengan 3 pemateri dalam kelas yang membahas terkait dasar-dasar keamanan digital, data hygiene dan verifikasi konten hoax. Di mana para peserta berasal dari latar belakang yang berbeda. Baik dari mahasiswa, pegiat seni, aktivis, penjual online, arsitek hingga pegawai negeri dan swasta.
Privasi sendiri merupakan hak asasi individu untuk menentukan apakah data pribadi akan dikomunikasikan kepada pihak lain. Ini yang kemudian diatur dalam draft Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun hingga saat ini, belum semua paham bahwa selama ini kerap membagikan data mereka dengan sukarela di dunia maya. Seperti identitas, lokasi, konten dan jaringan sosial yang sesungguhnya itu merupakan bagian dari privasi.
Tanpa disadari data pribadi yang kerap kita berikan adalah “minyak baru” bagi perusahaan di dunia cyber. Semakin banyak data yang kita berikan, justru semakin kaya pula mereka.
Walau sebenarnya sudah tertuang dalam UU HAM. Antara lain Pasal 29 ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”. Lalu pada Pasal 30 “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Pasal 31 ayat (1) dan (2) “Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu. Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam halhal yang telah ditetapkan dengan undang-undang”. Dan pada Pasal 32 yang berbunyi “Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat menyurat termasuk hubungan komunikasi sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan”.
Salah seorang peserta misalnya, mengaku terus mengaktifkan GPS di smartphone yang digunakan. Ia menyampaikan bahwa itu dilakukan, berkaca pada pengalamannya yang pernah kehilangan handphone sebelumnya, dari sana atas arahan polisi untuk mengaktifkan GPS, dengan tujuan mudah dilacak jika suatu hari mengalami kehilangan lagi.
Padahal sesungguhnya, dengan mengaktifkan GPS terus menerus, merupakan salah satu tindak tidak aman berinternet yang belum begitu disadari. Menyalakan GPS terus menerus, khususnya bukan dalam hal mendesak, membuat kita lebih mudah di tracking. Hal yang sama ketika menggunakan media sosial, masih banyak yang mengakui bahwa ketika mengunggah sesuatu, seperti foto lengkap dengan geo tag, jam mengunggah dan informasi lainnya yang sesungguhnya sifatnya pribadi.
Beberapa peserta lainnya berbagi pengalaman soal keamanan internet, salah satunya bagaimana maps misalnya bisa mencatat lokasi-lokasi kita saat mengambil foto, sampai data-data di drive bisa diakses orang tidak bertanggung jawab.
Solusi terkait permasalahan keamanan digital tentu tidak tunggal. Langkah- langkah melindungi privasi kita dengan membatasi diri dalam mengunggah data kita, mengurangi penggunaanya, mencari alternatif aplikasi yang lebih aman, termasuk mengatur privasi dan keamanan di perangkat kita.
Dari sana peserta juga diajak melakukan praktek basic digital hygiene, khususnya untuk membuat kita melek seberapa banyak data pribadi kita yang telah tersebar di internet. Untuk mengecek, salah satunya dengan menggunakan https://myactivity.google.com. Di sini siapapun bisa melihat aktivitas apa saja yang selama ini dilakukan karena terekam oleh google.
Langkah-langkah bersembunyi atau menggunakan instalasi tambahan agar browser bebas dari pelacak misalnya dengan menggunakan privacy badger. Memilih search engine yang tidak meninggalkan rekam jejak. Termasuk aplikasi alternatif yang lebih aman.
Sementara terkait konten hoax, fake atau konten-konten yang belum terverifikasi, yang dengan mudah tersebar di mana kecepatannya sering kali berbanding terbalik dengan ketepatan dan kebenarannya. Untuk konten hoax sendiri dimulai dari membedakan mana itu yang disinformasi dan mana yang misinformasi.
Misinformasi adalah kesalahan penyampaian informasi bisa saja tidak disengaja, sedangkan disinformasi adalah dengan sengaja mengubah konten atau memanipulasi konteks ini yang biasa disebut hoax.
Sebenarnya ada beberapa motif mengapa konten hoax ini muncul. Antara lain, untuk profit atau keuntungan materiil, eksperimen sosial, memiliki kesamaan ideologi, atau bahkan ingin terlihat paling update.
Dalam menentukan sebuah konten itu benar atau palsu, kita bisa melakukan beberapa cek Fakta dengan mencari informasi lain terkait konten tersebut, Cek Data dengan mencari data pendukung seperti foto, video, peta dan yang lainnya, dan Cek Sumbernya, mencari tahu siapa yang menyebar beritanya, akun atau jaringan.
Penyebaran konten hoax di media sosial yang paling sering terjadi. Salah satu yang bisa dilakukan ketika mendapatkan informasi berupa foto bisa melakukan pemeriksaan atas sumber fotonya di google Reverse Image. Dengan mengunggah foto yang akan diperiksa, kemudiaan akan keluar sumber fotonya awalnya, dan website yang menggunakannya.
Memeriksa sebuah akun media sosial pun bisa dilakukan. Untuk melihat apakah akun tersebut palsu atau benar. Misalnya di twitter dengan menggunakan twitter.com/search-advanced atau di facebook dengan menggunakan Inteltechniques.com.
Cisilia Agustina
Relawan SAFEnet Denpasar