Operasi Senyap Polisi Siber: Perburuan Jejak Digital Demonstran Agustus-September

Ditulis oleh:Tessa Ardhia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) & Marchi Florita Ansa Br Tobing, Amnesty International Chapter Universitas Brawijaya (AICUB)

Dalam era konektivitas global, platform media sosial telah menjadi ujung tombak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bagi masyarakat sipil, media sosial berperan penting untuk kampanye dan mobilisasi dukungan, bersuara kritis seperti menggugat narasi pemerintah, membangun narasi alternatif serta menuntut akuntabilitas atas setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, praktik advokasi dan penyampaian kritik di media sosial kini menghadapi konsekuensi yang mengkhawatirkan. Kriminalisasi pengguna media sosial yang menyampaikan pendapat dan ekspresi semakin sering terjadi.

Polisi Siber: Menarget yang Vokal atau Kriminal?

Aksi demonstrasi besar diawali pada 25 Agustus 2025 dengan isu utama rencana kenaikan tunjangan dan gaji anggota DPR. Aksi protes berlanjut hingga pada 27 Agustus 2025 malam, situasi memanas setelah sebuah kendaraan taktis Brigade Mobil (Brimob) melaju dengan kecepatan tinggi untuk membubarkan massa dan menabrak seorang pengemudi ojek daring bernama Affan Kurniawan hingga meninggal dunia. Insiden tersebut terekam dan videonya menyebar luas di media sosial, memicu respons publik yang intens. Aksi protes pun berlangsung di kota-kota lain seperti Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan lain-lain. Selain tuntutan awal, aksi protes kemudian berkembang menjadi bentuk kritik dan penolakan yang lebih luas terhadap institusi kepolisian dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam penanganan demonstrasi.

Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) menyatakan bahwa sejak 23 Agustus 2025 mereka telah melakukan patroli siber sebagai langkah preventif untuk mengantisipasi potensi kerusuhan di Jakarta. Polri juga berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk memblokir 592 akun media sosial yang dinilai menyebarkan narasi provokatif (Tempo, 2025). Hingga September, polisi siber terus berpatroli dengan senyap dan gencar untuk menggali akun-akun media sosial yang dianggap memprovokasi dan menghasut demonstrasi (Cakaplah, 2025). Pengawasan digital yang intensif menunjukkan bagaimana respons negara kini meluas hingga ke ruang daring, dengan implikasi serius bagi kebebasan berekspresi dan partisipasi publik.

Berdasarkan aduan dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) dan pemantauan yang dilakukan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sebanyak 169 orang yang ditangkap berkaitan dengan aksi demontrasi tersebut. Kebanyakan diantaranya dikenai UU ITE dan KUHP. Selain itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi di Polda Metro Jaya juga menyebutkan adanya penangkapan terhadap 351 orang terkait aksi demonstrasi Agustus (CNN Indonesia, 2025). Dimungkinkan jumlah warga yang ditangkap lebih besar karena masih banyak yang tidak dapat dihubungi tanpa informasi yang jelas. Langkah ini menunjukkan kecenderungan aparat yang lebih mengutamakan kontrol dan pembatasan ruang sipil daripada memastikan perlindungan hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi.

Dampak patroli siber yang beringas terlihat dari meningkatnya penangkapan terhadap pegiat media sosial dan aktivis. SAFEnet (2025) mendokumentasikan sejumlah individu yang ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menghasut kerusuhan. Di Jakarta, tiga perempuan berinisial L, F, dan G dijerat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) semata-mata karena unggahan ekspresif mereka di media sosial. Selain itu, beberapa aktivis termasuk Delpedro, Muzaffar, Khariq, Syahdan, dan Wawan ikut ditahan karena peran mereka sebagai admin akun-akun pergerakan. Delpedro dijerat dengan pasal Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 28 ayat (3) juncto Pasal 45A ayat 3 UU ITE ITE dan/atau Pasal 76H juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Penangkapan aktivis kembali terjadi pada 27 November 2025. Polrestabes Semarang melakukan penangkapan terhadap Adetya Pramandira (staf WALHI Jawa Tengah) dan Fathul Munif (Aksi Kamisan Semarang). Keduanya dituding terlibat dalam tindakan penghasutan demonstrasi Agustus. Informasi kredibel yang dihimpun Amnesty International Indonesia menunjukkan bahwa pasal sangkaan keduanya tidak memiliki dasar yang kuat, dan mereka bahkan tidak pernah dipanggil terlebih dahulu sebagai saksi. Aparat kepolisian dua aktivis tersebut sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU ITE, serta Pasal 160 KUHP tentang penghasutan (Amnesty International Indonesia, 2025).

Alih-alih berfokus pada otak di balik kerusuhan yang terjadi di lapangan, pola penindakan terkait demonstrasi Agustus-September 2025 ini justru menarget pihak yang vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Penangkapan sejumlah warga, aktivis serta pegiat media sosial saat dan setelah demonstrasi terus terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa unggahan di media sosial yang dianggap mengandung unsur provokasi atau penghasutan dapat menjadi dasar bagi aparat untuk melakukan kriminalisasi. Kekhawatiran selanjutnya muncul karena penindakan hukum masyarakat sipil maupun demonstran tersebut seringkali menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang banyak memuat ‘pasal karet’ atau multitafsir. Kriminalisasi ini tentu menciptakan chilling effect, yaitu keadaan ketika masyarakat merasa takut atau enggan untuk menyampaikan pendapat maupun kritik akibat adanya ancaman kriminalisasi karena ambiguitas hukum (Townend, 2017). Hal ini tentu dapat menekan kebebasan berekspresi dan berpendapat, membuat masyarakat melakukan penyensoran mandiri terhadap ekspresinya.

Pasal Karet sebagai Alat Legitimasi Perburuan

Untuk melegitimasi perburuan dan kriminalisasi para aktivis, aparat kepolisian kerap menggunakan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang menyebutkan bahwa,

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.”

Penggunaan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE oleh kepolisian untuk menjerat aktivis memperlihatkan perluasan tafsir yang keliru dan tidak sejalan dengan batasan normatif pasal tersebut. Secara hukum, ketentuan ini hanya melindungi individu atau kelompok berdasarkan karakteristik yang bersifat melekat, seperti ras, etnis, agama, jenis kelamin, atau disabilitas. Karenanya, institusi negara termasuk kepolisian tidak termasuk subjek yang dilindungi dari ekspresi kritik. Dengan demikian, kritik terhadap tindakan aparat tidak dapat dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian dalam kerangka pasal ini.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 membatasi penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus dibuktikan secara objektif bahwa keterangan yang disebarkan mengakibatkan kebencian nyata kepada kelompok tertentu (Sukarta, Akbar, & Abas, 2025). Akibatnya, delik ini tidak lagi dianggap sebagai delik formil, sebaliknya dianggap sebagai delik materiil yang membutuhkan pembuktian akibatnya. Pemidanaan tanpa pembuktian dampak materiil dan dengan menjadikan institusi negara sebagai “korban” menunjukkan penyimpangan serius dari standar konstitusional serta membuka ruang bagi kriminalisasi ekspresi politik yang sah dalam negara demokratis.

Pasal ini dijadikan instrumen efektif bagi negara melalui aparat untuk menjerat aktivis yang aktif berekspresi di sosial media. Karena rumusan pasalnya yang ‘longgar’ dan memberikan batasan yang tidak jelas tentang bentuk, intensi, maupun konteks informasi yang dimaksud, pasal ini kerap dipakai untuk membungkam berbagai kritik bagi kebijakan negara, menjadikannya ‘pasal karet’ yang paling sering digunakan untuk membenarkan perburuan aktivis.

Dalam penerapannya, Pasal 28 ayat (2) UU ITE mudah disalahgunakan sebagai alat pembenaran penangkapan aktivis karena memuat frasa-frasa yang sangat multitafsir. Frasa tersebut adalah ‘menimbulkan kebencian atau permusuhan’ yang membuka ruang subjektivitas oleh aparat dalam menilai suatu kritik. Ketidakjelasan ukuran ‘kebencian’ dan bagaimana penilaian terhadap ‘permusuhan’ menimbulkan jurang subjektivitas besar dan mudah dipelintir menjadi alat kontrol sosial dan politik. Dengan demikian, ekspresi politik yang dilayangkan masyarakat pun dapat dikategorikan sebagai ‘kebencian’ atau ‘permusuhan’ terhadap pemerintah. Pemaknaan mengenai apa yang disebut ‘kebencian’ harus diperjelas, karena menyuarakan kritik seharusnya tidak termasuk ke dalam bentuk ujaran kebencian. Pada akhirnya, pasal elastis ini dapat memfasilitasi aparat kepolisian untuk melakukan perburuan, mempersempit ruang kebebasan berekspresi, bahkan melemahkan fungsi demokrasi itu sendiri.

Pelanggaran Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Dalam menganalisis pelanggaran yang dilakukan negara menggunakan Pasal 28 (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE, tindakan kriminalisasi ini dapat dianggap melanggar dan bertentangan denganPasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi tanpa hambatan. Ketika negara menggunakan pasal yang samar dan multitafsir seperti ini untuk menjerat individu yang melayangkan kritik kepada kebijakan pemerintah, maka tindakan tersebut mengingkari jaminan kebebasan berekspresi bagi tiap-tiap individu. Tindakan perburuan juga menunjukkan ketidaksesuaian dengan hukum HAM internasional yang diatur dalam UDHR.

Restriktivitas yang dilakukan oleh negara menggunakan Pasal 28 ayat (2) jo. 45A ayat (2) memberikan berbagai dampak yang signifikan bagi masyarakat luas. Hal ini terutama karena tindakan tersebut mempersempit ruang berekspresi masyarakat dan menunjukkan penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Ancaman kriminalisasi yang ditunjukkan dengan penangkapan aktivis ini membuat masyarakat enggan untuk melayangkan kritik, mengawasi kebijakan, atau mengungkap pelanggaran yang dilakukan pejabat pemerintah. Mereka takut sekiranya akan ditangkap jika bersuara dengan tudingan menyebarkan kebencian dan menyebabkan permusuhan. Diskusi publik terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah pun menjadi tidak sehat, karena warga lebih memilih diam daripada dilaporkan ke aparat. Akhirnya, penggunaan pasal karet ini tidak hanya melemahkan individu yang sudah terjerat saja, namun juga memperluas ketakutan di mata masyarakat bahwa kritik yang mereka keluarkan akan membawa mereka menjadi pelaku tindak kriminal. Tingkat demokrasi di Indonesia pun menurun, karena suara masyarakat dibungkam, pengawasan terhadap kebijakan negara berkurang, dan semakin lemahnya kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara.

Penutup

Pola penindakan terhadap aktivis dan masyarakat sipil dalam demonstrasi Agustus-September 2025 menunjukkan pergeseran signifikan dalam pendekatan negara terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain penggunaan kekuatan yang berlebihan di ruang fisik, ekspansi represi negara merambah ke ruang digital dengan polisi siber, pemblokiran akun, dan kriminalisasi atas unggahan media sosial. Aparat penegak hukum menggunakan pasal elastis, yaitu Pasal 28 ayat (2) UU ITE untuk menjerat aktivis, admin akun pergerakan, dan masyarakat yang kritis. Ketidakjelasan rumusan pasal tersebut membuka ruang subjektivitas aparat dalam menilai kritik sebagai bentuk “kebencian” atau “permusuhan,” sehingga memperluas potensi penyalahgunaan wewenang.

Dampaknya, tercipta chilling effect yang membuat masyarakat enggan untuk bersuara dan ragu untuk menuntut akuntabilitas publik. Hal ini tidak hanya membungkam individu yang ditangkap, namun juga menekan ruang kebebasan sipil secara kolektif. Praktik kriminalisasi ini bertentangan dengan prinsip HAM internasional, terutama pasal 19 UDHR yang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat serta hak untuk mencari dan menyebarkan informasi. Pada akhirnya, rangkaian tindakan tersebut menunjukkan degradasi kualitas demokrasi Indonesia dan semakin menegaskan kecenderungan negara menggunakan hukum sebagai alat kontrol politik, bukan sebagai instrumen perlindungan warga negara.

Oleh karenanya, sebagai respons atas dampak serius dari pembatasan kebebasan berekspresi oleh negara melalui aparat kepolisian, negara perlu untuk melakukan reformasi substansial terhadap UU ITE dan memperjelas batasan-batasan atau tolok ukur dari pasal-pasal yang bersifat multitafsir agar tidak terus-menerus dijadikan alat kriminalisasi. Selain itu, diperlukan pengaturan yang lebih ketat terhadap kewenangan polisi siber melalui mekanisme peningkatan akuntabilitas, transparansi, dan standar operasional yang jelas, sehingga praktik penegakan hukum dapat sesuai dengan prinsip negara demokratis. Selanjutnya adalah negara perlu memastikan dilakukannya penguatan bagi pembela HAM, aktivis, jurnalis, dan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa tiap-tiap individu dapat menjalani hak-haknya tanpa terintimidasi maupun dikriminalisasi, sekaligus memastikan ruang sipil yang aman, bebas, dan demokratis.

Negara juga perlu untuk mengedepankan dialog dengan masyarakat, alih-alih menggunakan instrumen pendekatan hukum pidana yang berpotensi mengikis kepercayaan publik. Iklim diskusi perlu dibangun agar sejalan dengan prinsip dasar demokrasi, memberikan ruang aman bagi masyarakat untuk menyuarakan keluhnya terkait kebijakan tanpa perlu merasa takut. Terakhir, komitmen terhadap standar HAM internasional perlu untuk ditunjukkan. Kesesuaian praktik bernegara terutama dalam pengaplikasian pasal-pasal sudah seharusnya mengikuti standar universal yang menghormati hak dan martabat manusia. Konsistensi juga perlu dibangun dengan memastikan bahwa pasal pidana dan praktik aparat di lapangan sesuai dengan prinsip HAM, agar komitmen ini tidak pada akhirnya tergerus dan hanya menjadi wacana semata.

Referensi

  • Azzahra, N., Muttamimah, S. M., Aqila, A. J., & Fartini, A. Kebebasan Berpendapat Dan Batasannya: Kajian Normatif Atas UU ITE Serta KUHP Dalam Perlindungan hak. Res Publica: Jurnal Hukum Kebijakan Publik, 9(3), 204-218.
  • Laporan Pemantauan Hak-Hak Digital Triwulan III Tahun 2025, SAFenet.
  • Permana, A. A. P., & Khomsah, S. I. (2021). Penafsiran restriktif atas Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan, 24(01), 25-36.
  • Sukarta, D. T. W., Akbar, M. G. G., & Abas, M. (2025). Akibat hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi tentang kerusuhan dalam ruang siber bukan sebagai tindak pidana (Studi Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024). Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik, 6(1).
  • Townend, J. (2017). Freedom of Expression and the Chilling Effect. In Routledge Companion to Media and Human Rights (pp. 73–82). Routledge.