Koalisi Masyarakat Sipil Mengecam Penghentian Penyidikan Dugaan Kekerasan Seksual

Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Penghentian Penyelidikan Dugaan Kekerasan Seksual oleh Oknum Sekretaris Dinas Kominfo Empat Lawang, Sumatera Selatan

Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Penghentian Penyelidikan Dugaan Kekerasan Seksual oleh Oknum Sekretaris Dinas Kominfo Empat Lawang, Sumatera Selatan

Jakarta, 28 November 2025 – Koalisi masyarakat sipil (LBH Apik Jakarta, LBH Palembang, LBH Jakarta, SAFEnet, dan KOMPAKS) mengecam dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan Nomor: SP2.Lid/24/XI/Res.1.24/2025/Dittipid PPA dan PPO tanggal 24 November 2025 terhadap Laporan Polisi Nomor: LP/B/457/XII/2024/SPKT/Bareskrim Polri dengan terlapor berinisial AHP. Penghentian Penyelidikan ini mengancam keamanan korban yang mengalami kekerasan seksual dari AHP dan mengingkari proses penegakan keadilan yang diupayakan korban.

Koalisi masyarakat sipil menyayangkan keputusan penghentian penyelidikan ini, karena prosesnya masih menyisakan banyak kekurangan dan tidak memenuhi standar perlindungan korban yang dimandatkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Penghentian penyelidikan semakin memperburuk posisi korban, yang justru menghadapi kriminalisasi balik oleh terlapor AHP menggunakan UU ITE. Korban juga mengalami berbagai bentuk reviktimisasi, seperti intimidasi dan ancaman.

Oleh karenanya, Koalisi:

  1. Mendesak Bareskrim Mabes Polri segera melakukan gelar perkara khusus terhadap kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh AHP terhadap korban. Gelar perkara khusus perlu dilakukan, pasalnya proses penyelidikan masih belum dilakukan secara komprehensif. Korban belum sepenuhnya diberikan kesempatan untuk membuktikan dugaan kekerasan seksual yang dialami.
  2. Mendorong Direktorat Tindak Pidana PPA/PPO Bareskrim Polri untuk mengganti ahli gender yang dihadirkan penyidik karena tidak menunjukkan kapasitas untuk membongkar kompleksitas kasus yang dialami korban dan menghadirkan ahli yang benar memiliki kompetensi di bidang gender dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam kompleksitas kasus yang dialami korban. Dalam perkara kekerasan seksual, kesaksian ahli yang tidak memahami perspektif korban atau tidak memiliki latar belakang keilmuan yang tepat berpotensi menghasilkan analisis yang keliru dan merugikan korban, terutama melihat kasus kekerasan seksual yang sarat konteks. Kehadiran ahli yang tepat sangat penting untuk memastikan bahwa penyelidikan berjalan objektif, tidak bias, dan tidak memperkuat reviktimisasi terhadap korban.
  3. Mendorong Direktorat Tindak Pidana PPA/PPO melakukan pengawasan dan asistensi penyidik agar pada proses pemeriksaan, penyidik tidak ikut serta melakukan reviktimisasi kepada korban dengan tindakan intimidatif yang membuat korban mengalami trauma dan ketakutan. Dalam proses penyelidikan, korban juga tidak diberikan hak keleluasaan dalam menyampaikan kesaksian. Penyidik menunjukkan kapasitas yang tidak berperspektif korban dan gender dengan menggunakan kalimat serta diksi yang tidak layak untuk disampaikan kepada korban yang masih memproses kepulihannya atas pengalaman kekerasan seksual dan kekerasan lain yang dialami akibat terduga pelaku.
  4. Mendorong Polres Empat Lawang, Sumatera Selatan untuk menghentikan kasus kriminalisasi UU ITE terhadap Korban sebagaimana yang telah disampaikan oleh kuasa hukum melalui Surat Nomor 60/SK/LBH.Plg/X/2025 pada Oktober 2025. Kendati Bareskrim Polri sudah mengeluarkan Surat perintah penghentian penyelidikan, namun korban beserta kuasa hukum dan koalisi masih berupaya memperjuangkan keadilan bagi korban atas kasus kekerasan seksual dan kekerasan lainnya yang dialami. Ini sejalan dengan Surat Keputusan Bersama Menkominfo, Kapolri, dan Jaksa Agung tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang menyebutkan pasal pencemaran nama baik hanya bisa diterapkan setelah tuduhan pelanggaran hukumnya dibuktikan kebenarannya.
  5. Mendorong Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tetap mempertahankan status terlindung terhadap korban. Perlindungan yang diberikan oleh LPSK sangat penting dan krusial dalam memastikan keamanan dan keselamatan Korban. Dicabutnya status terlindung akan membuat posisi korban semakin rentan dalam menghadapi ancaman reviktimisasi dan kriminalisasi oleh terduga pelaku kekerasan seksual yang merupakan seorang pejabat publik.

Koalisi Masyarakat Sipil:

  • Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta
  • Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang
  • Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  • Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  • Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)