Polisi Siber Picu Lonjakan Pelanggaran Hak Digital selama Triwulan III 2025

Laporan triwulan III 2025

Denpasar, 29 Oktober 2025 Selama triwulan III (Juli-September) 2025, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menemukan lonjakan represi digital. Salah satu faktor pemicu lonjakan ini adalah meletusnya gelombang demonstrasi masyarakat sipil pada akhir Agustus hingga awal September 2025. Gelombang demonstrasi ini disertai dengan meluasnya protes di berbagai platform media sosial, yang kemudian dijawab dengan operasi polisi siber oleh negara. Kondisi ini menghasilkan peningkatan signifikan dalam pelanggaran di hampir semua sektor hak-hak digital, seperti hak atas akses internet, kebebasan berekspresi, serta hak atas rasa aman di ranah digital.

Pada periode ini, terjadi berbagai dugaan pelanggaran terhadap hak atas akses internet, baik yang berkaitan dengan aksi demonstrasi maupun tidak. SAFEnet menerima aduan-aduan akun ditangguhkan, pembatasan fitur, hingga kesulitan akses di Instagram, Tiktok, dan WhatsApp. Bahkan, pada periode unjuk rasa di Jakarta akhir Agustus lalu, TikTok tiba-tiba dengan sengaja menangguhkan fitur siaran langsung Tiktok LIVE di Indonesia dengan alasan keselamatan. Selain itu, di Jakarta, ribuan massa aksi unjuk rasa 25-30 Agustus lalu juga mengalami gangguan akses.

“Pembatasan akses dan fitur oleh platform digital selama periode demonstrasi menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap hak atas akses internet di Indonesia,’ Ujar Tessa, salah satu penulis laporan triwulan III 2025.

Pada aspek kebebasan berekspresi, terdapat total 59 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital dengan jumlah terlapor sebanyak 156 orang. Motif atau isu politik paling banyak melatarbelakangi pelanggaran kebebasan berekspresi dengan total sebanyak 128 korban. Hal ini utamanya berkaitan dengan ekspresi-ekspresi politik terkait dukungan atas demonstrasi Agustus 2025. Korban-korban yang dilaporkan selama periode ini termasuk sejumlah aktivis muda, seperti Delpedro Marhaen (Lokataru Foundation), Muzaffar Salim (Lokataru Foundation), Khariq Anhar (Aliansi Mahasiswa Penggugat), Syahdan Husein (Gejayan Memanggil), dan Muhammad Fakhrurrozi (Social Movement Institute). Meskipun sudah direvisi dengan memperketat ruang multitafsir, namun SAFEnet mencatat bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai ujaran kebencian masih paling banyak digunakan untuk mengkriminalisasi, dengan terlapor sebanyak 45 orang. Selain itu, UU ITE tanpa informasi lebih lanjut soal pasal spesifik sebanyak 67 terlapor.

“Pasal-pasal karet dalam UU ITE terus menjadi alat pembungkaman, menandakan belum adanya jaminan nyata atas kebebasan berekspresi di ruang digital.” Ujar Tessa.

SAFEnet juga mencatat terjadi 299 insiden keamanan digital selama Juli–September 2025. Sebanyak 129 insiden di antaranya terkait dengan kritik dan aksi protes warga terhadap kebijakan pemerintah atau bermotif politik. Ledakan insiden tersebut dipicu oleh demonstrasi di berbagai kota, yang dibarengi dengan meluasnya ekspresi kritis terhadap pemerintah di media sosial. Warga biasa menjadi kelompok paling terdampak, dengan serangan dominan berupa penyitaan perangkat (15 kasus) dan penyedotan data (15 kasus), disusul pengancaman (6 kasus) dan doxing (5 kasus). Staf OMS dan aktivis juga mengalami serangan serupa, mencakup 4 kasus penyitaan dan 3 kasus penyedotan data dari perangkat mereka.

Tessa menambahkan, “Lonjakan serangan digital terhadap warga dan aktivis menunjukkan bagaimana ruang daring semakin rentan bagi mereka yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah.”

Selama triwulan ketiga, SAFEnet juga menemukan setidaknya 605 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO). Secara statistik, setiap hari terjadi lebih dari enam kasus KBGO di Indonesia pada triwulan ketiga 2025. Banyaknya kasus KBGO dalam periode ini juga terjadi pada saat aksi Agustus – September 2025 berupa pelecehan seksual hingga pengancaman.

“Tingginya angka KBGO menegaskan bahwa perempuan dan kelompok rentan masih menjadi sasaran utama kekerasan di dunia digital, terutama dalam konteks politik dan aksi sosial,” Ungkap Tessa.

Dalam laporannya, SAFEnet juga mencatat terdapat modus operandi baru dalam mengintimidasi warganet yang bersuara kritis adalah pesan singkat kepada target atau keluarga target yang dikirim nomor tidak dikenal. Isi pesannya adalah foto editan yang menampilkan wajah target ditambahkan keterangan seolah-olah target masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi karena terkait perbuatan kriminal. Pada serangan KBGO, SAFEnet juga menemukan modus pelecehan seksual baru. Modus ini dilakukan di suatu platform khusus anak-anak dan penipuan dengan cara membuka lowongan pekerjaan di internet bergaji besar dengan syarat memberikan konten intim.

“Munculnya modus intimidasi baru di ranah digital mencerminkan bahwa pelaku terus mencari cara baru dalam mengancam rasa aman warga, berusaha membungkam warga yang kritis.” Ujar Tessa.

___________________

Laporan selengkapnya dapat diakses melalui: https://bit.ly/LapTriwulanIII2025
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi helpline SAFEnet melalui 0817 932 3375