Proyeksi Indonesia 2019-2024: Siaga Satu Represi Kemerdekaan Berekspresi dan Kriminalisasi Aktivis Pro Demokrasi

I. SITUASI TERKINI

Secara nasional, pada 2018-2019 merupakan tahun-tahun politik. Pada 2018 terjadi pelbagai peristiwa terkait pemilihan calon legislatif dan pemilihan calon presiden yang memuncak pada Pemilihan Umum 2019 pada April 2019. Dalam pengalaman yang lalu, situasi politik ditandai dengan meningkatnya polarisasi akibat perbedaan pilihan antar pendukung kubu politik. Memanasnya situasi politik juga mendorong pengetatan kontrol terhadap isi konten media daring yang dianggap oleh sebagian kalangan memiliki kontribusi besar dalam menimba suara pemilih, khususnya dari kalangan generasi muda. Situasi juga diperparah karena seiring tensi politik, akan berimplikasi pada meningkatnya produksi dan penyebaran hoax politik dalam bentuk disinformasi dan misinformasi sehingga menjadikan informasi yang seharusnya didapatkan masyarakat menjadi terdistorsi menjadi kebohongan dan propaganda.

Situasi ini juga berimbas ke ranah digital. Dengan pertumbuhan pengguna Internet mencapai sekitar 143,26 juta atau 54,68% dari total penduduk Indonesia, kontrol pemerintah atas internet menjadi semakin ketat. Sebelum tahun-tahun politik, kontrol ini sudah terjadi pada situsweb dan media sosial lewat berbagai tindakan pemblokiran dan penyensoran, terutama yang terjadi terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) maupun kelompok aktivis Papua.

Sekarang meskipun ketimpangan digital (digital devide/gap) masih menjadi masalah bagi hak akses internet — Pengguna Internet Indonesia (72,41%) berada di wilayah perkotaan. Warga di Pulau Jawa terpapar Internet 57,70% sementara paling rendah, Bali-Nusa 5,63% dan Maluku-Papua 2,49% — kondisi masih diperburuk dengan praktik pemadaman internet (internet shutdown) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Dalam tiga peristiwa yang telah terjadi di tahun 2019, tindakan pemadaman internet ini digunakan sebagai cara baru pemerintah mengontrol informasi, membatasi akses informasi dan melakukan sensor di internet.

Peristiwa yang pertama, mengacu pada peristiwa pelambatan akses yang terjadi pada 22-25 Mei 2019 di Jakarta terkait aksi protes hasil Pemilihan Umum 2019. Pemerintah Indonesia melalui Kemkominfo mengeluarkan empat siaran pers terkait tindakan bandwith throttling/internet slowdown tersebut selama dilakukan. Saat itu pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap media sosial terutama Twitter, Instagram, dan Facebook, serta aplikasi layanan komunikasi pesan berbasis internet (instant messaging service) WhatsApp setelah aksi demonstrasi pada 21-22 Mei 2019.

Peristiwa kedua mengacu pada tindakan Internet Shutdown yang dilakukan di dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Diawali dengan apa yang disebut pemerintah sebagai pelambatan akses internet, secara teknis disebut Bandwith Throttling, yang tak lain juga termasuk bentuk Internet Slowdown selama 2 hari sejak 19-20 Agustus hanya terjadi di kota Jayapura, Manokwari dan daerah lainnya. Namun di hari ketiga, berubah menjadi pemblokiran layanan data di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, atau mobile internet blockade yang kemudian secara bertahap dinyalakan lagi sejak 4 September 2019 meskipun belum seluruhnya. Dalam siaran pers terakhir Kemkominfo pada 9 September 2019 pukul 18.00 WIB disampaikan bahwa pemerintah telah membuka 36 wilayah, tetapi masih menutup layanan data internet 6 wilayah di provinsi Papua dan Papua Barat, dengan rincian 4 kabupaten/kota di Provisi Papua yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya serta 2 kota di Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong.

Peristiwa yang ketiga, mengacu pada tindakan pemadaman internet di Wamena dan sebagian kota Jayapura pada 23 September 2019 dan baru dibuka lagi pada 28 September 2019 oleh Kemkominfo.

Akibat absennya akses pada informasi, masyarakat yang mengalami pemadaman internet hanya menerima satu versi cerita yang disampaikan oleh pemerintah lewat Kemkominfo bahwa tindakan Internet Shutdown berhasil meredam peredaran hoaks dan mencegah kerusuhan meluas. Akan tetapi di luar dari itu, organisasi seperti Netblocks.org menyediakan kalkulator kerugian dari Internet Shutdown. NetBlocks Cost of Shutdown Tool (COST) memperkirakan dampak ekonomi dari gangguan internet, pemadaman data seluler, atau pembatasan aplikasi menggunakan indikator dari Bank Dunia, ITU, Eurostat, dan Sensus Amerika Serikat. Hasilnya cukup mengejutkan, saat pelambatan akses di Jakarta saja bila dihitung maka nilai kerugian yang ditaksir COST mencapai Rp2.095.572.636.403 (Rp2 Trilyun) dengan menggunakan nilai tukar rupiah atas dolar Amerika Serikat pada awal bulan Juni 2019.

Selain itu, dapat juga dibaca dampak Internet Shutdown dalam media lokal di Papua. Harian Cendrawasih Pos pada 26 Agustus 2019, menulis artikel “Gangguan Internet, 125 Paket Terancam Tidak Bisa Diakses Tepat Waktu”. Disebut untuk Provinsi Papua ada 125 paket pekerjaan yang tidak bisa diakses tepat waktu akibat adanya pembatasan akses internet. Akibatnya sekitar Rp700 miliar terpaksa tertunda dalam proses maupun penyerapan anggaran. Kepala BPLBJ Papua meminta pemerintah pusat bisa lebih bijak dalam menerapkan pembatasan internet, terutama agar pelayanan publik mendapat akses khusus. Pada 28 Agustus 2019, harian ini juga menulis artikel “SGJ Ancam Demo Turunkan Ribuan Driver Gojek” berisi kedatangan perwakilan dari 1.500 pengemudi ojek online di kota Jayapura yang mengeluh kehilangan mata pencaharian selama Internet Shutdown.

Anggota kami yang berada di kota Jayapura juga menerima informasi tentang tidak berfungsinya sebagian mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), kesulitan mahasiswa untuk mendaftarkan dan mengisi rencana studi di kampus, tidak bisa diaksesnya pelayanan publik BPJS sehingga harus membayar tunai di Rumah Sakit. Juga berhentinya laporan berita pada kurun 26-28 Agustus 2019 dari sindikasi media online di Papua.

Pemadaman internet di Papua dapat dibaca sebagai cara baru yang menambah tindakan diskriminasi dan blokir internet yang selama ini telah terjadi di Papua. Dibandingkan daerah lain, akses selular dan sinyal komunikasi di Papua tidak memadai. Selain internet lambat, blokir juga sering terjadi. Internet lewat perangkat selular hanya ada di kota-kota besar seperti Jayapura, Timika, Merauke, Nabire, Biak dan lain-lain. Itu pun hanya ada satu penyedia layanan selular yang Berjaya, yaitu Telkomsel. Provider lain bukannya tidak ada, tetapi jangkauan layanan mereka menyedihkan. XL dan Indosat hanya ada di kota besar dan itupun hanya ada di beberapa titik. Akibatnya, tidak ada pilihan lain selain Telkomsel.

Ketika Telkomsel mengalami gangguan di tahun 2018, praktis layanan internet terputus dan ketika membaik pun kecepatannya sangat lambat. Sebenarnya saat ini layanan Telkomsel di kota Jayapura sudah lebih baik karena beberapa titik sudah dilayani dengan jaringan 4G+ dengan kecepatan di atas 1 Mbps. Tapi memang masih di beberapa titik saja dan belum merata.

Di beberapa tempat sebenarnya ada layanan wi-fi yang disediakan oleh perusahaan swasta menggunakan satelit. Pengguna tinggal membeli voucher yang harganya beragam. Ada yang berdasarkan volume, biasanya 10rb/10 MB atau ada juga yang berdasarkan waktu, misalnya: Rp.50rb/8 jam. Kecepatannya beragam, ada yang lumayan seperti di Asmat (bisa mencapai 1 Mbsp), tapi ada juga yang di bawah 1 Mbps seperti di Monamani dan Paniai.


Susahnya akses Internet di Papua itu juga terjadi karena kebijakan politik pemerintah pusat terhadap aktivis di Papua. Victor Mambor, Direktur media alternatif Jubi di Papua mengatakan, pemutusan akses Internet di Papua selalu terjadi setiap kali ada kunjungan Presiden Joko Widodo ke Bumi Cendrawasih itu. Pada tahun 2018, keterputusan akses Internet itu terjadi setidaknya tiga kali.

Selain pemblokiran akses Internet, akses pada situsweb atau unggahan tertentu juga diblokir, terutama terhadap konten-konten yang dianggap pro Papua Merdeka. Tidak hanya akses pada situsweb, tetapi juga pada unggahan di media sosial. Situsweb Komite Nasional Papua Barat (KNPB) – knpbnews.com – termasuk situs yang tidak bisa diakses. Unggahan mereka di media sosial yang memberikan informasi terkait isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua juga ditangguhkan atau bahkan dihapus pihak penyedia layanan, seperti Facebook.

Hal lain yang juga terjadi adalah serangan siber berupa peretasan pada situsweb-situsweb yang melaporkan pelanggaran HAM di Papua. Dalam setahun, Tabloid Jubi bisa diserang hingga 24 kali. Serangan siber itu termasuk dalam perang informasi asimetris dalam bentuk sebaran hoaks yang menyerang aktivis di Papua dan Papua Barat. Saat ini makin banyak akun media sosial palsu, mobilisasi bot, serta situsweb siluman yang dimiliki tentara atau politisi dengan tujuan menyerang aktivis-aktivis di Papua. Menurut laporan kolaborasi Tirto.id dan Jubi pada 2018, setidaknya terdapat 18 situsweb siluman yang aktif memberikan informasi menyerang aktivis Papua.

Yang belum lama terjadi adalah tindakan blokir selama 20 jam pada media daring suarapapua.com di jaringan Telkomsel pada 3 Oktober 2019. Sayang tidak ada penjelasan dari Telkomsel alasan pemblokiran itu dilakukan.

Laporan Facebook pada 3 Oktober 2019 menyebut InsightID mengelola 69 akun Facebook, 42 Facebook Pages, dan 34 akun Instagram yang ketahuan mempraktikkan manipulasi platform berbentuk koordinasi perilaku tak otentik (Coordinated Inauthentic Behavior) yang kemudian akun-akun ini dihapus oleh Facebook. Ada sekitar 410.000 akun mengikuti satu atau lebih FB Pages ini dan sekitar 120.000 akun mengikuti setidaknya satu akun Instagram ini.

Orang-orang di belakang jaringan ini menggunakan akun palsu untuk mengelola Facebook Pages, menyebarkan konten mereka dan mengarahkan orang ke situsweb di luar platform Facebook ke sejumlah situsweb siluman yang mereka buat. Mereka terutama memposting dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia tentang Papua Barat dengan beberapa Facebook Pages berbagi konten untuk seolah-olah mendukung gerakan kemerdekaan, sementara yang lain memposting kritik terhadapnya. InsightID juga membelanjakan uang sekitar $300.000 (Setara dengan Rp4,2 miliar) yang dihabiskan untuk iklan Facebook berbayar dengan target pengguna Facebook dari Eropa, Australia dan New Zealand. Temuan ini merupakan bentuk disinformasi online yang memperkeruh informasi sehingga publik sulit mengetahui kejadian sebenarnya di Papua belakangan ini.

SAFEnet mencatat sejumlah kasus kriminalisasi terhadap aktivis pro demokrasi di tahun 2019. Pada Agustus-September 2019, sejumlah aktivis dituduh sebagai pelaku yang harus bertanggungjawab atas sejumlah kerusuhan. Menyusul insiden Surabaya menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, selaku pengacara hak asasi manusia dan pendamping mahasiswa Papua di Surabaya Veronica Koman aktif menggunakan media sosial Twitter @veronicakoman untuk menyampaikan perkembangan informasi yang terjadi di Surabaya dan kemudian peristiwa yang terjadi di wilayah paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat. Namun akibat perbuatannya, polisi menetapkan Veronica sebagai tersangka provokator yang menyebabkan kerusuhan. Polisi menyebut postingan Twitter Veronica berisi hal-hal provokasi dan mengarah ke hoax. Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan mengatakan total ada lima postingan Veronica yang merupakan hoax. Pada 4 September 2019, kepolisian menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka kasus provokasi asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Penetapan tersangka ini dilakukan setelah polisi melakukan gelar perkara. Veronica sebelumnya sudah dipanggil sebagai saksi untuk tersangka kasus rasisme di asrama mahasiswa Papua, namun Veronica Koman tak memenuhi panggilan.

Selain Veronika Koman, kriminalisasi juga terjadi pada aktivis-aktivis lain. Dandhy Dwi Laksono, jurnalis dan aktivis HAM, ditangkap polisi pada 26 September 2019 sekitar pukul 23.00. Kemudian Dandhy Laksono resmi ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Postingan yang dipermasalahkan adalah peristiwa di Jayapura dan Wamena pada 23 September. Penetapan itu dilakukan setelah penyidik Polda Metro Jaya memeriksa Dandy pada 27 September 2019 dini hari hingga pukul 04.00 WIB. Ia dikenai Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Bersamaan dengan itu, Ananda Badudu, mantan jurnalis dan pegiat HAM, juga ikut ditangkap Kepolisian Daerah Metro Jaya karena ditengarai menggalang dana unjuk rasa mahasiswa. Penangkapan Ananda terkait uang yang dihimpun Ananda melalui media sosialnya lewat platform kitabisa.com dan disalurkan untuk kebutuhan medis mengatasi kekerasan yang terjadi saat terjadinya demonstrasi mahasiswa menentang RKUHP dan UU KPK hasil revisi di depan Gedung DPR/MPR, 24-25 September 2019.

Pada tahun 2018, Anindya Shabrina Prasetiyo, mahasiswi dan aktivis dari Front Mahasiswa Nasional kota Surabaya yang kerap mengadvokasi kasus-kasus penggusuran dan rasisme kepada masyarakat Papua di kota Surabaya menghadapi kasus hukum karena dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE dengan Laporan Polisi nomor LP/B/689/VIII/2018/JATIM/RESTABES SBY tertanggal 25 Juli 2018 oleh Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya IKBPS Pieter F. Rumaseb. Pieter F. Rumaseb juga ketua Satpol PP Kota Surabaya. Patut diduga, laporan ini dipakai untuk mementahkan laporan Anindya ke pihak Propam atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kepolisian dan Satpol PP pada saat pembubaran diskusi di Asrama Papua Surabaya pada hari Jumat, 6 Juli 2018.

Selain itu, baru belakangan diketahui ada laporan polisi lain yang lebih dulu diterima polisi, yaitu Laporan Polisi dengan nomor LP/B/658/VII/2018/JATIM/RESTABES SBY dengan dugaan melakukan pencemaran nama baik sesuai pasal 27 ayat 3 UU ITE jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE dan penyebaran kebencian sesuai pasal 28 ayat 2 jo. Pasal 45A ayat 2 UU ITE. Laporan ini tidak diketahui siapa yang melaporkan.

Berdasarkan catatan SAFEnet, pejabat publik tetap menjadi kelompok dominan sebagai pelaku pemidanaan. Pada 2018, terdapat 11 kasus yang dilaporkan oleh pejabat publik seperti kepala daerah atau kepala instansi/departemen. Selain pejabat publik, terdapat 6 kasus UU ITE yang dilaporkan oleh kelompok profesional seperti pengacara dan dokter. Jumlah kasus selama 2018 menurun hampir separuh dibandingkan 2017 yang berjumlah 52 kasus.

Berdasarkan pasal hukum yang dituduhkan, kriminalisasi pada tahun 2018 paling banyak menggunakan pasal defamasi atau pencemaran nama baik, yakni pasal 27 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebanyak 16 pelaporan, disusul oleh pasal kebencian (pasal 28 ayat 2) sebanyak lima pelaporan. Sedangkan untuk tuduhan defamasi sekaligus kebencian, pasal pengancaman, dan pasal pornografi tercatat masing-masing sebanyak satu laporan.


Namun data yang kami rekap berdasarkan laporan masuk itu hanya sekitar 10 persen dari total kasus yang terdata di Mahkamah Agung (MA). Menurut situsweb MA, terdapat 292 kasus terkait UU ITE selama tahun 2018. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, sebanyak 140 kasus. Kasus sepanjang 2018 itu bahkan melebihi dari total kasus sejak 2011 – 2017 yaitu sebanyak 216 kasus.

Adapun total kasus terkait UU ITE yang terpantau di situs MA lima tahun terakhir mencapai 508 kasus. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi yang menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan atau juncto Pasal 45 ayat 3 UU No.19/2016. Di posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian, dengan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE dan atau juncto Pasal 45A ayat 2.


Selain kriminalisasi pada aktivis pro demokrasi, praktik-praktik pelanggaran hak atas rasa aman muncul melalui kekerasan berbasis gender daring, pencarian dan pengungkapan identitas pribadi tanpa persetujuan (doxing), serangan siber berupa penyadapan ilegal dan penghancuran kredibilitas.

Pada akhir September 2019, dua orang aktivis anti-korupsi (pria dan wanita) telah melaporkan kepada kami bahwa mereka telah menjadi korban gambar yang diedit yang telah diposting lintas platform, termasuk Facebook dan Instagram, dan mungkin melalui WhatsApp juga. Diduga mereka diserang karena partisipasi mereka dalam menyuarakan bahwa mereka vocal menentang pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat Revisi UU KPK.


Serangan itu termasuk foto intim yang dicuri lewat aktivitas penyadapan ilegal dari aktivis wanita dan foto aktivis pria yang disunting menjadi satu gambar dengan teks provokatif yang memframing bahwa mereka telah berselingkuh. Serangan ini telah memfitnah kedua aktivis dalam upaya untuk membungkam mereka, bahkan lebih dari pria itu diakui sebagai seorang pendeta, itu adalah pelecehan seksual bagi wanita untuk distribusi berbahaya. Ia juga memiliki dasar dari pidato kebencian karena ia juga mengemukakan agama.

Temuan ini hanya bagian kecil dari sejumlah serangan siber sering dilancarkan kepada para aktivis belakangan ini.

II. PROYEKSI 5 TAHUN MENDATANG

Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. PBB telah mengeluarkan Resolusi No 20/8 Tahun 2012 bahwa perlindungan atas kemerdekaan berekspresi mempunyai perlindungan yang sama baik dalam aktivitas daring maupun luring.

Sebagai negara hukum, Indonesia sudah menyediakan jaminan mengenai kemerdekaan berekspresi diatur dalam UUD 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2) yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Selain itu UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kemerdekaan berekpresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) UU tersebut berbunyi:

“Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronikdengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

Dua puluh tahun setelah Reformasi 1998 muncul harapan publik agar pengakuan HAM di Indonesia semakin kuat dan membaik di dalam sistem ketatanegaraan dan hukum Indonesia. Negara pasca-Orde Baru diharapkan akan bersikap lebih positif terhadap kondisi HAM. Namun ternyata yang terjadi belum membuahkan perubahan yang cukup siginifikan dalam rangka perjuangan demokrasi dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), diantaranya menyangkut kebebasan pers, kemerdekaan berekspresi dan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi.

Bila mengadopsi istilah-istilah kebencanaan — yang kami pikir cukup relevan untuk menggambarkan secara sederhana bagaimana situasi kebebasan berekspresi di Indonesia dengan empat tingkatan status, yaitu: 1) Situasi normal, 2) Waspada, 3) Siaga, dan 4) Awas maka dari hasil penilaian ini, kami memproyeksikan kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia, pada lima tahun mendatang Indonesia memasuki babak baru yaitu Siaga Satu represi kemerdekaan berekspresi dan kriminalisasi aktivis pro demokrasi.

Apa saja indikasi-indikasi yang mendorong kesimpulan proyeksi tersebut?

Pertama, terkait pembatasan-pembatasan hak mengakses informasi. Kami menemukan sejumlah tindakan seperti pemadaman internet (internet shutdown), pemblokiran situsweb (internet blocking), gangguan pada internet (internet disruption) seperti peretasan situsweb (hacking) dan serangan siber (cyber attack) untuk melumpuhkan situsweb sebagai tindakan-tindakan baru yang menunjukkan meningkatnya kontrol atas informasi. Tindakan tersebut menambah daftar yang telah terjadi sebelumnya, seperti pelarangan peliputan jurnalis asing di Papua, kekerasan terjadap jurnalis meningkat, frekuensi publik masih disalahgunakan untuk kepentingan partai politik, kelompok maupun pribadi tertentu, isi siaran yang masih menayangkan kekerasan, tidak sensitif gender maupun tidak ramah anak. Isi siaran TV sangat Jakartasentris, sistem siaran jaringan (SSJ) tidak dilaksanakan dengan benar, dan kepemilikan stasiun TV yang mengindikasikan pelanggaran UU Penyiaran no 32/2002.

Bentuk kontrol informasi yang juga menguat adalah upaya menerbitkan sejumlah aturan seperti RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang ditengarai isinya akan semakin memperkuat kontrol negara atas informasi di Indonesia lewat Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), revisi PP Nomer 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTP).

Kedua, terkait kriminalisasi pada aktivis pro demokrasi dan jurnalis. Reformasi 1998 tidak cukup membawa angin perubahan dan perlindungan terhadap kerja-kerja pers di Indonesia. Meskipun terdapat UU Pers, namun kelemahan perlindungan pers masih terlihat dari banyaknya kekerasan terhadap jurnalis baik itu secara fisik atau non fisik. Selain kekerasan fisik, tindakan-tindakan seperti kriminalisasi jurnalis dengan UU ITE, doxing kepada jurnalis, mobilisasi untuk menghancurkan kredibilitas media dengan perundungan daring (online harrashment) di media sosial hingga penghancuran reputasi lewat pemberian bintang satu dan review buruk sehingga apps dihapuskan dari Google Playstore.

Penangkapan atas sejumlah aktivis yang melakukan kombinasi tindakan dan kampanye di media sosial atas sejumlah isu publik justru semakin banyak dan terang-terangan dilakukan, sekalipun bukti-bukti yang ada tidak memenuhi unsur hukum. Teror negara dimunculkan dengan sejumlah penangkapan ini.

Di sisi lain, terdapat ketentuan-ketentuan yang akan mengancam kebebasan sipil dari Rancangan UU yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR. Ada sejumlah pasal yang perlu diwaspadai seperti tentang kejahatan ideologi negara yang masih multitafsir dan samar. Kemudian mengenai tindak pidana penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden yang dalam KUHP telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Selanjutnya terkait dengan penghinaan terhadap pemerintah yang sah atau biasa disebut haatzaai artikelen, yang juga dalam KUHP telah didekriminalisasi oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Juni 2017. Selain itu dalam BAB VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, atau lazim disebut Contempt of Court (CoC) dimana larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan yang diatur dalam pasal 305 huruf E tidak ada ukuran yang jelas serta indikator yang terukur. Terakhir, terkait dengan delik penghinaan, yang meningkatnya ancaman pidana dan ketiadaan alasan pembenar yang cukup.

Ketiga, terkait tindakan pembubaran sejumlah diskusi akademik dan pembatasan hak masyarakat untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat. Bahkan dalam rangkaian aksi protes di depan Bawaslu pada bulan Mei 2019, aksi damai gerakan #ReformasiDikorupsi selama bulan September 2019 telah terjadi pembubaran lewat kekerasan dengan pemukulan, penembakan dengan senjata berpeluru tajam,  sehingga timbul korban tewas yang tidak sedikit dan sejumlah besar korban luka-luka akibat aksi koersif oleh polisi.

Dari sisi peraturan juga terjadi kemunduran. Desakan kepada pemerintah agar memenuhi prosedur hukum sebagaimana diatur oleh UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, atas rencana pembubaran sejumlah organisasi, justru direspon berbeda. Alih-alih mengambil tindakan hukum melalui proses peradilan, pemerintah malah mengeluarkan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas yang telah disahkan juga oleh DPR RI menjadi UU No. 16 Tahun 2017, untuk melegitimasi tindakan pembubaran sejumlah organisasi, dengan menghapus sejumlah ketentuan di dalam UU Ormas.

III. REKOMENDASI

Atas proyeksi kondisi Siaga Satu represi kemerdekaan berekspresi dan kriminalisasi aktivis pro demokrasi di Indonesia, maka direkomendasikan agar:

  1. Pemerintah dan DPR, dalam hal ini Kemenhukam, Kemkominfo, Komisi I dan Komisi III, perlu segera mengevaluasi dan mencabut pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan mengancam kehidupan berdemokrasi, khususnya kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat serta memastikan tidak ada pasal-pasal multitafsir, baik itu yang ada di dalam KUHP maupun UU sektoral lainnya seperti pasal-pasal karet UU ITE, maupun Rancangan-rancangan UU selanjutnya seperti Revisi KUHP, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.
  2. Pemerintah dan DPR, dalam hal ini Kemenhukam, Kemkominfo, Komisi I dan Komisi III, perlu terus menjamin Indonesia tetap menjadi negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan harus mengacu pada Resolusi PBB No 20/8 Tahun 2012 bahwa perlindungan atas kemerdekaan berekspresi mempunyai perlindungan yang sama baik dalam aktivitas daring maupun luring. Pengabaian atas pengakuan HAM akan menghasilkan produk perundang-undangan yang represif.
  3. Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia, perlu didorong untuk melakukan penegakkan hukum yang efektif terkait dengan ancaman terhadap demokrasi dan tidak melakukan kriminalisasi terhadap aktivis pro demokrasi dan jurnalis agar aktivis pro demokrasi, aktivis anti-korupsi, pegiat HAM dan jurnalis terlindungi sesuai dengan prinsip hak-hak asasi manusia.
  4. Pemerintah dan DPR, dalam hal ini Kemkominfo dan Komisi I,  harus menegakkan hukum penyiaran untuk tidak dibolehkannya monopoli kepemilikan media penyiaran, karena frekuensi yang digunakan adalah milik publik, Isi siaran yang seragam, tidak bias gender atau golongan dan ketentuan lainnya.