Peningkatan Pelanggaran Hak-Hak Digital Jurnalis dan Media di Indonesia

Laporan SAFEnet tentang Kebebasan Pers di Indonesia, 2018

DI INDONESIA, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Oleh karenanya, jaminan kemerdakaan pers untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.

Peran pers untuk melaksanakan kontrol sosial sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Kontrol masyarakat dimaksud termasuk setiap orang memiliki Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.

Pengaturan mengenai kebebasan pers di Indonesia dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu muncul mekanisme perlindungan yang cukup berlapis bagi jurnalis dan media yang menghadapi sengketa hukum, seperti misalnya bila menghadapi tuntutan hukum maka ada Nota Kesepahaman Bersama antara Dewan Pers dan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) bila ada upaya pemidanaan maka lebih dulu Dewan Pers melakukan penilaian dan mediasi.

Indonesia Negara Terbanyak Memiliki Media Massa

Dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional 2018 pada tanggal 9 Februari, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyatakan, saat ini Indonesia menjadi negara yang paling banyak memiliki media massa di dunia. [i]

Dengan jumlahnya yang mencapai 47.000 terbagi media cetak, radio, televisi dan media online. Ada sekitar 2.000 media cetak. Namun dari jumlah tersebut hanya 567 media cetak yang masuk kategori profesional pada 2014. Sementara pada 2015, jumlahnya menyusut lagi menjadi hanya 321 media cetak. Sedangkan media online atau siber diperkirakan mencapai angka 43.300. Namun, yang tercatat sebagai media profesional dan lolos syarat pendataan pada 2014 hanya 211 media online saja. Angka ini menyusut menjadi hanya 168 media online pada 2015.

Selain itu hingga akhir 2014 tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi. Pada 2015 media radio mengalami penyusutan menjadi 674 media radio, sedangkan televisi bertambah menjadi 523 media televisi.

Namun Dewan Pers juga menyatakan dengan ledakan media online itu muncul ‘wartawan tiban’ yang sama sekali tak memiliki pengetahuan tentang jurnalistik dan pemahaman soal kode etik jurnalistik.[ii] Tambahan lagi, menurut pengamatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) baru lima persen media online yang terdaftar di Dewan Pers.[iii] Jumlah ini menimbulkan persoalan baru dan konsekuensi langsung pada penyelesaian sengketa pers yang selama ini telah disepakati.

Pembatasan Akses Atas Media

Melalui Permenkominfo No. 19 Tahun 2014, mekanisme pemblokiran situs oleh Kemenkominfo dilakukan dengan berbagai cara. Masyarakat dapat membuat pengaduan mengenai situs yang mengandung unsur SARA, kekerasan, atau pornografi kepada Kemenkominfo melalui email: [email protected]. Kemudian laporan akan dikaji oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kemenkominfo apakah benar website yang diadukan mengandung unsur-unsur yang melanggar undang-undang, dan apabila memang demikian, maka pemilik website tersebut dapat dijerat oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE.) Laporan yang diajukan masyarakat tersebut nantinya akan ditampung di website TRUST+ Positif yang dibuat oleh Kemenkominfo.

 
Pada masa kepemimpinan Menteri Rudiantara pada 3 April 2015, dibentuk Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (PSIBN) yang terdiri dari empat panel yaitu: bidang terorisme dan SARA; bidang Investasi Ilegal, Penipuan, Perjudian; bidang Obat dan Makanan serta Narkoba; serta bidang Hak Kekayaan Intelektual. Masing-masing Panel beranggotakan para tokoh terkait yang mumpuni (prominent persons) dan para pakar dengan keahlian di bidangnya. Bila situsweb yang dilaporkan memang mengandung unsur pelanggaran hukum, maka Kemenkominfo akan memasukkan situsweb tersebut ke dalam daftar TRUST+Positif, dan mewajibkan seluruh penyedia jasa internet untuk memblokir website tersebut dalam waktu 3X 24 jam. Apabila penyedia jasa internet tidak juga memblokir website yang masuk dalam daftar TRUST+ Positif dalam waktu 3 X 24 jam, maka izinnya akan terancam dicabut oleh Kemenkominfo.

Pada 7 Agustus 2018, Kemenkominfo mengeluarkan kebijakan baru untuk meregulasi konten yang dianggap negatif di internet, yakni memaksa pada penyedia jasa internet untuk menyalakan mode safe search pada setiap mesin pencari yang digunakan di Indonesia, seperti Google dan Bing, untuk memfilter konten-konten yang melanggar hukum.

Dalam Permenkominfo No. 19 Tahun 2014, pelaksanaan penanganan serta blokir konten negatif di internet, ada beberapa pemangku kepentingan. Yang pertama adalah Menkominfo sebagai pimpinan dari Kemenkominfo selaku Lembaga yang memiliki wewenang untuk mengimplementasikan kebijakan blokir situs di Indonesia. Setelah Menkominfo, sesuai dengan Permenkominfo tersebut, dalam Pasal 1 Ayat (4) dinyatakan bahwa Ditjen Pelaksana dari kebijakan tersebut adalah Ditjen Aptika. Ditjen Aptika merupakan pengurus dari situs TRUST+ Positif sebagai wadah situs yang diblokir oleh Kemenkominfo. Ditjen Aptika memiliki wewenang untuk mengawasi dan memantau proses pemblokiran tersebut.


Menkominfo telah memberi akses khusus kepada Kepala Kepolisian RI (Kapolri), Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) khusus untuk memblokir situs-situs yang bermuatan radikalisme dan terorisme. Kapolri, Kepala BIN, serta BNPT dalam hal ini memiliki wewenang untuk langsung memblokir situs yang bermuatan terorisme dan radikalisme tersebut tanpa melewati panel terlebih dahulu.

Kewenangan yang semula berupa Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 untuk menerbitkan daftar blokir/filtering suatu situsweb semakin diperkuat dalam Pasal 40 UU ITE hasil revisi tahun 2016.

Bunyi Pasal 40 UU ITE:

  • Ayat (2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Ayat (2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Sampai tahun 2018 ini, pemerintah Indonesia telah memblokir 850.000 situsweb maupun akun media sosial yang memuat konten negatif.[iv] Dari jumlah tersebut, Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah blokir terhadap media.

Pada 14 Desember 2016, situsweb suarapapua.com yang dikelola jurnalis Papua diblokir oleh pemerintah Indonesia. Kemudian menyusul pada 3 Mei 2017, sejumlah situsweb Papua Barat termasuk di dalamnya situsweb tabloid-wani.com dan papuapost.com diblokir. Alasan pemblokiran oleh pemerintah Indonesia karena sejumlah situsweb ini disinyalir menyebarkan ajakan memisahkan diri dari Indonesia. Padahal ekspresi politik warga Papua yang ingin menentukan nasib sendiri merupakan hak berekspresi yang sah dan tidak dapat dianggap melanggar norma hukum.

Dalam waktu dekat, Kemenkominfo juga akan mengatur dan mengenakan sanksi berupa denda terhadap konten-konten di media sosial yang mengandung berita bohong dan ujaran kebencian. Peraturan Pemerintah baru ini juga masih dalam proses penyusunan, dimana Kemenkominfo dibantu oleh pihak ketiga, seperti perguruan tinggi. Kemenkominfo juga telah menugaskan tim khusus untuk melakukan studi banding di dua negara, yakni Malaysia dan Jerman terkait upaya penanganan konten negatif di kedua negara tersebut. Selanjutnya, Kemenkominfo akan mengadopsi aturan yang ada di Malaysia dan Jerman dalam bentuk Peraturan Menteri dengan versi Indonesia.

Peningkatan Penggunaan UU ITE Untuk Memidanakan Jurnalis dan Media

Tren terbaru dalam 5 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan penggunaan UU ITE untuk menghukum jurnalis dan media. Berdasarkan pemantauan SAFEnet, tren ini sudah dimulai dari tahun 2013 dan menunjukkan sekarang lebih banyak jurnalis dan media diserang menggunakan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 tentang penyebaran kebencian dari UU ITE.

  • Pasal 27 ayat 3: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan / atau menyebabkan agar dapat diakses Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dengan isi penghinaan dan / atau pencemaran nama baik.
  • Pasal 28 ayat 2: Setiap Orang yang secara sadar dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau perselisihan pada individu dan / atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan kelompok etnis, agama, ras, dan antar-kelompok (SARA).

Dalam pemantauan SAFEnet sejak 2008 sampai Desember 2018 terjadi 16 kasus hukum, dalam upaya memidana 14 jurnalis dan 7 media dengan pasal karet UU ITE, dengan rincian sebagai berikut:

  • Pada 2013 terjadi 2 kasus pada jurnalis,
  • Pada 2015 terjadi 2 kasus terhadap jurnalis dan media tempatnya bekerja sekaligus,
  • Pada 2016 terjadi 6 kasus terhadap jurnalis,
  • Pada 2017 terjadi 3 kasus terhadap 2 jurnalis dan 1 media,
  • Pada 2018 terjadi 8 kasus terhadap 3 jurnalis dan 5 media.

Melihat tempat perkara hukum diadukan, maka terlihat bahwa cukup merata terjadi di Indonesia. 8 kasus (50%) terjadi di luar pulau Jawa, sedang di pulau Jawa terjadi 8 kasus (50%) juga. Hal ini menandakan bahwa pelaporan menggunakan UU ITE ini bukan hanya mayoritas menerpa media-media besar yang berada di kota-kota besar di pulau Jawa saja, di kota yang jauh berada di luar Jawa bisa terjadi pelaporan terhadap jurnalis atau media.

Dalam upaya memidana jurnalis dan media tersebut, pasal hukum yang paling banyak digunakan adalah pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik sebanyak 15 aduan, disusul oleh pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang penyebaran kebencian sebanyak 2 aduan dan pasal 310-311 KUHP tentang pencemaran nama sebanyak 2 aduan, kemudian pasal 156 KUHP tentang SARA sebanyak 1 aduan dan pasal lainnya sebanyak 1 aduan.

Bila melihat dari siapa yang melakukan pelaporan, maka dari 16 kasus yang dicatat terlihat bahwa 8 kasus (50%) diadukan oleh kalangan profesi, 4 kasus (25%) diadukan oleh kalangan pejabat publik, 3 kasus (19%) diadukan orang awam, dan 1 kasus (6%) diadukan oleh kalangan berpunya (pengusaha).

Sedangkan bila melihat status perkara, maka terlihat 8 kasus (50%) dalam tahap pelaporan ke polisi, 3 kasus (19%) dalam tahap pemeriksaan kejaksaan, 2 kasus (13%) diputus bersalah, sedang 1 kasus masing-masing diputus bebas, tidak jelas dan dimediasi.

Kasus pertama yang dicatat SAFEnet terjadi pada tahun 2013, yaitu penuntutan terhadap Donny Iswandono selaku pemimpin redaksi media online Nias-Bangkit.com (NBC). Pada 3 September 2013, Donny Iswandono menghadapi proses hukum karena tuntutan pencemaran nama yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, terkait pemberitaan tentang kasus korupsi di Nias Selatan, Idealisman Dachi.

Idealisman Dachi mengugat karena media yang dikelola Donny menulis artikel berjudul “Segera! Periksa, Tangkap dan Adili Bupati Nias Selatan”. Menurut Donny, NBC sudah mencoba dan berusaha mengkonfirmasi ke Bupati Nias Selatan atas adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan di KPK, tetapi tidak mendapatkan respon. Menurut Donny, pihak Nias Bangkit juga sudah berupaya meminta konfirmasi kepada Bupati, tetapi tak pernah mendapat tanggapan.

Penyidik Polda Sumut berusaha memeriksa Donny Iswandono di Gedung Dewan Pers di Jakarta karena Donny tak bisa hadir pada panggilan pertama 6 Agustus dengan alasan kesulitan transportasi menjelang Lebaran. Dengan bantuan Dewan Pers, akhirnya disepakati pemeriksaan berlangsung di Jakarta. Kasus ini bisa diselesaikan dengan mediasi melalui mekanisme perlindungan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kapolri.

Kasus mencolok lain terjadi di tahun 2015, saat pemimpin Atjehpost.co Nurlis E Meuko dilaporkan oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah  ke Polda Aceh terkait dugaan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik seperti dimaksud pasal 27 ayat 3 UU ITE. Setelah menerima laporan bernomor: LP/36/II/2015/SPKT itu, Ditkrimsus Polda Aceh lantas menerbitkan surat perintah penyidikan Nomor: SP.Sidik/02.a/II/2015/Ditkrimsus pada 17 Februari 2015.

Usai Nurlis diadukan Gubernur, media Atjehpost.co memutuskan untuk tutup. Berita penutupan dimuat di situsweb Atjehpost.co dengan judul artikel “ATJEHPOST.co Pamit Untuk Selamanya”.[v] Kejadian pada tahun 2015 ini menandakan sebuah proses penuntutan hukum bisa juga berujung pada ditutupnya suatu media online bila tekanan terjadi begitu kuat.

Di tahun 2016, terjadi kasus yang dihadapi seorang jurnalis bernama Kadir Sijaya. Ia dituntut bukan karena karya tulisan di media massa tempatnya bekerja, namun karena apa yang dimuat di akun Facebook sendiri. Kadir Sijaya diperiksa penyidik Polrestabes Makassar selama 8 jam karena dilaporkan atas kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap ketua PWI Sulsel Zulkifli Gani Ottoh lewat tulisannya di Facebook yang mengkritisi komersialisasi gedung Sulsel PWI Sulsel di Jl. AP Pettarani, kota Makassar ke pihak Alfamart.

Zulkifli Gani Otto melaporkan Kadir Sijaya ke Polrestabes Makassar tepatnya Rabu, 2 Desember 2015 dengan laporan polisi nomor: LP/2708/XII/2015/POLDA SULSEL/RESTABES MKS di Polrestabes Makassar. Kepolisian langsung menahan sejak 23 Maret 2016 setelah diperiksa dan menolak penangguhan penahanan yang diajukan oleh LBH Makassar. Kadir Sijaya ditahan 24 Maret 2016 dan baru mendapat penangguhan penahanan pada 25 Agustus 2016.

Dalam proses peradilan, Kadir Sijaya akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti melakukan kesalahan melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Kasus Kadir Sijaya ini menandai bahwa di luar apa yang disampaikan di media sendiri, seorang jurnalis bisa juga dikenai pemidanaan bila menyampaikan penilaian pribadinya terhadap suatu peristiwa sosial.

Seperti halnya yang terjadi pada jurnalis Ulin Ni’am Yusron. Pada Sabtu siang, 5 November 2016, sekitar pukul 14.00 WIB Ulin menulis status di Facebook wall, “Memperjuangkan agama tidak dengan menjarah! Ahok dan warga Tionghoa harus dihabisi, itulah politik rasis yang mereka gaungkan dalam berbagai aksi, ceramah dan terbitan mereka. Waspadai 1998 sebagai skenario busuk. #IndonesiaDarurat”. Tulisan tersebut diikuti dengan pemuatan video penjarahan.

Awod dari Kantor Bantuan Hukum Bulan Bintang (KBH-BB) Kota Surakarta melaporkan Ulin Ni’am Yusron ke Kepolisian Resor Kota Surakarta pada 5 November 2016. KBH-BB menganggap Ulin menyebarkan ujaran kebencian melalui status di Facebook. Laporan dari pengacara itu diterima di Polresta Surakarta dengan laporan polisi Nomor: LP/B/649/XI/2016/JATENG/RESTA SKA. Status tersebut dianggap melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE dan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Pada tahun 2017, terjadi pelaporan langsung ke media online Tirto.id yang terbilang baru diluncurkan. Berbeda dengan model pelaporan pada Atjehpost.co yang menuntut pemimpin redaksinya untuk bertanggungjawab, pada kasus Tirto.id ini, Christophorus Taufik selaku kuasa hukum dari Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo melaporkan media online Tirto.id. dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Laporan tersebut diterima Polda Metro Jaya dengan LP/2000/IV/20n17/PMJ/Dit Reskrimum dengan kasus dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik dengan terlapor masih lidik dan diancam dengan Pasal 310 KUHP atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 27 Ayat 3 Jo Pasal 45 A Ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Laporan ini berawal dari dimuatnya tulisan jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Allan Nairn, di media Tirto.id dengan judul “Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar”. Tulisan tersebut merupakan alihbahasa dari tulisan Allan Nairn dengan judul “Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” yang pertama kali diluncurkan di situs The Intercept.[vi]

Kasus yang kurang lebih mirip adalah pelaporan media online dengan UU ITE pada tahun 2018. Pada 11 Juli 2018, Rektor Universitas Lambung Mangkurat Sutarto Hadi melaporkan pencemaran nama baik yang dialaminya lewat pemberitaan 5 media online yaitu kalselpos.com, jejakrekam.com, klikalsel.com, beritabanjarmasin.com dan kumparan.com (banjarhits.id), serta seorang dosen hukum ULM Daddy Fahmanadie.

Polisi telah memeriksa Pimred kalselpos.com SA Lingga, Pimred Klikkalsel.com, Zainal Helmie sekaligus Ketua PWI Kalsel serta Pimred jejakrekam.com, Didi G Sanusi yang juga Koordinator AJI Biro Banjarmasin Cabang Balikpapan. Setelah mendapat tekanan keras dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan, proses pemeriksaan ini tidak dilanjutkan dan kepolisian kembali berusaha mematuhi Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kapolri.

Pada tahun 2018, tercatat tiga jurnalis menghadapi kasus hukum, yaitu Muhammad Yusuf yang menulis laporan melalui koran online kemajuanrakyat.co.id, Mohammad Yusro Hasibuan yang memosting foto aksi lewat Whatsapp Group Berita Batubara (Online) dan Zakki Amali yang menulis laporan investigasi melalui media online serat.id

Jurnalis yang berdomisili di Kalimantan Selatan Muhammad Yusuf sempat berstatus tersangka akibat penulisan 23 berita soal konflik antara masyarakat dan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM). Pencemaran nama baik yang dituduhkan kepada Yusuf dilaporkan oleh PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), perusahaan kepala sawit milik Syamsudin Andi Arsyad alias Haji Isam.

Kasus ini bermula dari bulan April 2018, ketika PT MSAM dilaporkan lembaga masyarakat sipil Sawit Watch ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas dugaan operasional di atas kawasan berizin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Sejumlah warga Desa Salino dan Desa Mekarpura di Pulau Laut Tengah, awal Mei lalu juga mengadu ke kantor Komnas HAM, Jakarta karena menuduh PT MSAM menggusur masyarakat dengan bantuan aparat penegak hukum.

Menurut keterangan istrinya, Arvaidah, suaminya dicokok anggota Satuan Reskrim Polres Kotabaru di Bandara Internasional Syamsuddin Noor Banjarmasin, Kamis, 5 April 2018. Saat ditangkap, Yusuf hendak terbang ke Jakarta bersama 15 warga buat melaporkan konflik tanah ke Komnas HAM.[vii] Penangkapan ini sebetulnya bertentangan dengan hukum acara pidana, karena setelah direvisi pada 2016, pasal 27 ayat 3 UU ITE jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE memuat ancaman hukuman sudah di bawah 5 tahun; yang berarti tidak diperlukannya upaya penangkapan seperti yang dilakukan oleh penyidik kepolisian.

Dalam keterangan tertulisnya, Dewan Pers menyebut ada dugaan Yusuf menjadi penggerak demonstrasi yang menentang PT MSAM walau belum terkonfirmasi. Karena Dewan Pers menilai produk jurnalistik Yusuf yang terbit dalam portal kemajuanrakyat.co.id tidak berimbang, cenderung menghakimi, serta menggunakan narasumber yang tak kredibel, akhirnya polisi mencokok Yusuf dan ia sempat 15 hari menghuni Lapas Kotabaru, setelah sebelumnya 10 hari menghuni rumah tahanan Polres Kotabaru. Namun saat ditahan, Yusuf meninggal dunia setelah sempat mengeluhkan sakit pada dada dan sesak nafas disertai muntah-muntah sekitar pukul 14.00 WITA pada 10 Juni 2018.

Aliansi Jurnalis Independen sempat mengajukan protes atas langkah polisi memidanakan Yusuf karena tidak mengindahkan payung hukum UU Pers sebagaimana termuat dalam rilis pers AJI pada 13 Juni 2018.[viii]

Pada kasus yang menimpa redaktur jangkau.com bermula ketika Muhammad Yusro Hasibuan mengirim foto terkait aksi aliansi mahasiswa Siantar-Simalungun yang menuntut tindakan refresif kepolisian terhadap pemukulan mahasiswa di Medan ke grup WhatsApp (WAG) Berita Batubara (online) pada 27 September 2018 pukul 13:02 WIB. Salah seorang anggota grup yang juga jurnalis menanyakan lokasi terkait foto Demo Mahasiswa yang dikirimnya, “Demo dimana Yusro?” Lalu Yusro menjawab: “Siantar simalungun, Gmni, GMKI, HMI, Himmah, BEM dan lain lain. Mengutuk tindakan refresif Oknum polri. Copot kapoldasu.” Namun akibat balasan tersebut, Yusro diperiksa oleh pihak kepolisian Batubara pada 6 November 2018 dan selanjutnya 5 orang penyidik kepolisian melakukan penangkapan Yusro di sekitar kantor DPRD Batubara dan dibawa ke Mapolres Batubara. Rabu, 7 November 2018, penyidik Subdit Cyber Crime Polda Sumut resmi melakukan penahanan terhadap Yusro melalui Surat Perintah Penahanan bernomor: sp.Han/75/XI/2018/Ditreskrimsus. Yusro ditahan dengan sangkaan telah melakukan pencemaran nama baik seorang pejabat, yakni Kapolda Sumut, Irjen Pol Agus Andrianto sebagaimana tertuang dalam pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE jo. Pasal 316 KUHPidana sesuai dengan Laporan Polisi Nomor : LP / 1520 / XI / 2018 / SPKT II tanggal 7 November 2018. Yusro ditahan di Mapolres Batubara sejak 7 November 2018. Pada 4 Januari 2019, berkas kasus sudah dilimpahkan ke Kejaksaan, Yusro dipindahkan ke tahanan Kejaksaan.

Sedang Zakki Amali, jurnalis serat.id dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng terkait pemberitaan dugaan plagiasi yang dilakukan oleh Rektor Unnes Fathur Rokhman.[ix]

Dalam artikel investigasi yang ditulis oleh Zakki Amali tersebut, Fatur Rokhman diduga menjiplak artikel “Pemakaian Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri dan Implikasinya bagi Rekayasa Bahasa Indonesia: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas” yang terbit dalam prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (Kolita) 1 Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta tahun 2003. Naskah itu sama persis dengan makalah “Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas” karya Rektor Unnes Prof Fathur Rokhman yang terbit di jurnal Penelitian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya (Litera) Universitas Negeri Yogyakarta Volume 3, Nomor 1, Tahun 2004.

Zakki memuat 4 artikel investigasi di media daring serat.id yang diproduksi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang. Adapun 4 artikel itu adalah:

  1. Mencuat di Majelis Pelapor
    https://serat.id/2018/06/30/mencuat-di-majelis-profesor/
  2. Anif Rida: Mungkin Prof Fathur yang Menulis
    https://serat.id/2018/06/30/anif-rida-mungkin-prof-fathur-yang-menulis-makalah-itu/
  3. Tim Eka Mengantongi Bukti Artikel Plagiat Fathur
    https://serat.id/2018/06/30/tim-eka-mengantongi-bukti-artikel-plagiat-fathur/
  4. Kecewa Setelah Belasan Tahun Terbit
    https://serat.id/2018/06/30/kecewa-setelah-belasan-tahun-terbit/

Zakki Amali berusaha dipidanakan dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No 19 Tahun 2016. Dia dilaporkan pada 21 Juli 2018. Namun, baru diketahui setelah pihak Unnes merilis laporan tersebut di situsweb Unnes, pada 24 Agustus 2018. Adapun dasar pihak pelapor sebagaimana dirilis siaran pers yang dikeluarkan oleh pihak perguruan tinggi tersebut adalah media tempat Zakki berkarya belum berbadan hukum dan tersertifikasi di Dewan Pers. Tak hanya itu, Zakki juga dinilai tidak profesional karena belum mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW).

SAFEnet juga menerima informasi adanya upaya melaporkan Mawa Kresna jurnalis Tirto.id karena dianggap berita berjudul “Sindikat Jual Beli Ijazah Bodong di Kemenristekdikti” telah mencemarkan nama baik Staf Khusus Menristekdikti Abdul Wahid Maktub. Maktub telah mengancam lewat pesan singkat WhatsApp sebanyak tiga kali pada 26 November 2018 akan melaporkan jurnalis Tirto.id Mawa Kresna ke kepolisian.

Namun sampai laporan selesai disusun, aduan ke pihak kepolisian belum diketahui oleh Mawa Kresna, Aliansi Jurnalis Independen, maupun SAFEnet.

Ancaman Keamanan Baru Terhadap Jurnalis dan Media

Selain penggunaan UU ITE sebagai alat pemidanaan, muncul jenis ancaman keamanan baru kepada jurnalis dan media. Tiga kasus terjadi selama tahun 2018, seperti yang dialami 2 jurnalis yaitu Zulfikar Akbar jurnalis TopSkor dan Kartika Prabarini jurnalis Kumparan.com dan majalah mingguan Tempo.

Kasus yang dihadapi Zulfikar Akbar jurnalis TopSkor itu bermula dari pengusiran terhadap Abdul Somad ke Hongkong. Saat itu, ia hendak memenuhi undangan warga negara Indonesia di sana untuk memberikan ceramah. Ia tiba di Bandara Internasional Hong Kong, 23 Desember 2017, pukul 16.00 waktu setempat. Saat ia keluar menuju pintu pesawat, ia dipisah dari rombongannya dan dibawa ke dalam sebuah ruangan di dalam bandara tersebut. Di dalam ruangan itu, petugas Imigrasi menginterogasi dirinya dengan banyak pertanyaan dan memeriksa barang-barangnya. Setelah digeledah kurang lebih selama 30 sampai 45 menit, petugas tersebut langsung mengantar kembali Somad ke dalam pesawat yang ditumpanginya saat datang ke Hongkong. Somad diminta kembali ke Indonesia tanpa alasan yang jelas.

Mengomentari kabar itu, Zulfikar menulis cuitan di akun twitter @zoelfick. “Ada pemuka agama rusuh ditolak di Hong Kong, alih-alih berkaca justru menyalahkan negara orang. Jika Anda bertamu dan pemilik rumah menolak, itu hak yang punya rumah. Tidak perlu teriak di mana-mana bahwa Anda ditolak. Sepanjang Anda diyakini mmg baik, penolakan itu takkan terjadi.” Postingan tersebut memicu tekanan dan serangan terhadap Zulfikar di media sosial dalam bentuk doxing dan upaya persekusi. Puncaknya adalah dengan kemunculan tagar #BoikotTopSkor dan sempat menjadi trending topic di Twitter.

Reaksi warganet itu mendapat tanggapan dari pihak manajemen TopSkor. Pemimpin Redaksi TopSkor Yusuf Kurniawan dalam cuitannya di akun @Yusufk09, 26 Desember 2017 pukul 9.55, dengan mengatakan perbuatan Zulfikar tak ada hubungannya dengan media tempatnya bekerja. Melihat reaksi keras atas cuitannya, Zulfikar menyampaikan permintaan maaf karena menyadari bahwa komentarnya terlalu keras. Permintaan maaf itu tak menghentikan serangan terhadapnya. Manajemen TopSkor memanggil Zulfikar dan memberhentikannya pada 26 Desember 2017. Meskipun menurut manajemen TopSkor, Zulfikar bukan dipecat, tapi mengundurkan diri.

Kasus serupa juga menimpa jurnalis Kumparan.com, Kartika Prabarini. Ia mendapat ancaman di akun instagramnya setelah media tempatnya bekerja menurunkan liputan khusus berjudul “Menjinakkan Rizieq”. Kartika adalah  salah satu reporter dalam laporan khusus yang menulis berita soal sejumlah kasus hukum yang dihadapi Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Sihab. Pendukung Rizieq Shihab menilai laporan khusus yang dibuat Kumparan.com itu tidak menghormati pemimpin mereka. Sebab, dalam laporan itu tidak menyematkan kata ‘Habib’ saat menulis nama Rizieq Shihab.

Akun @mastermeme.id terindentifikasi melakukan doxing yaitu pemuatan identitas Kartika di sosial media dengan tujuan melakukan profiling. Akibatnya Kartika mendapat ancaman dari pengikut akun @mastermeme.id, hingga dirisak dengan komentar yang tidak pantas karena identitas gender dan penampilannya. Bahkan Kartika dan Kumparan.com diancam akan dilaporkan ke polisi bila tidak meminta maaf. Setelah FPI mendatangi redaksi Kumparan dan pihak Kumparan meminta maaf pada pengikut Rizieq Shihab dan menggunakan kata ‘Habib’ dalam pemberitaan selanjutnya barulah kasus ini mereda.

Kasus ketiga yang terjadi pada 2018 adalah upaya FPI memaksa majalah mingguan Tempo meminta maaf atas pembuatan dan pemuatan karikatur yang dianggap menghina Rizieq Shihab. Mereka menganggap Tempo telah melecehkan Rizieq, ulama mereka.

Massa keberatan terhadap kartun Majalah Tempo berjudul “Pria Bersorban Tak Jadi Pulang” yang diterbitkan 26 Februari 2018. Ketika Pemimpin Majalah Tempo Arief Zulkili dan beberapa awak redaksi majalah ini menemui perwakilan massa di dalam kantor Tempo, bukan terjadi dialog mencari solusi, melainkan terjadi tekanan dan intimidasi. Sejumlah lembaga dan institusi di dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Persekusi Media mengajukan protes atas peristiwa yang melanggar kebebasan pers di Indonesia ini.[x]

Ketiga kasus ini menjadi catatan yang menguatkan pemantauan SAFEnet atas munculnya persekusi Efek Ahok yang terjadi pada tahun 2017 terhadap mereka yang dianggap memiliki pandangan politik yang berseberangan dengan kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai Pembela Agama dan Ulama.

Sejumlah Rekomendasi

Dalam hasil pemantauan kasus-kasus pelanggaran hak-hak digital di Indonesia, pers (jurnalis dan media) termasuk dalam salah satu dari 9 kelompok rentan yang kerap dilanggar hak-hak digitalnya, yaitu hak atas akses informasi, hak untuk bebas berekspresi, dan hak untuk merasa aman.

Pelanggaran hak-hak digital pada jurnalis dan media ini tentu merupakan ancaman serius kepada kebebasan pers di Indonesia. Oleh karenanya, perlu upaya merefleksikan kembali perlindungan bagi pers di Indonesia, terutama untuk menyikapi perkembangan zaman yang memasuki pemanfaatan teknologi digital. Munculnya media online dengan penerapan teknologi maju di dalamnya seharusnya tidak mengubah perlindungan pers sebagai bagian dari kontrol sosial kepada jalannya roda pemerintahan, kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

Oleh karena itu, Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Kawasan Asia Tenggara, merekomendasikan sejumlah masukan kepada negara, media, dan juga komunitas jurnalis di Indonesia.

Bagi Negara

  • Negara Indonesia berkewajiban untuk terus memberikan jaminan bagi kebebasan pers sebagaimana tertulis dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945;
  • Negara Indonesia terus mematuhi Pasal 19 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
  • Negara Indonesia perlu memasukkan pertimbangan Hak Asasi Manusia dalam penerbitan regulasi atau kebijakan menyangkut keberadaan pers di Indonesia, termasuk pada media-media yang memanfaatkan teknologi digital;
  • Negara berhenti melakukan pembatasan akses informasi pada pers di Papua yang menjalankan fungsi sebagai kontrol sosial secara berimbang dan memenuhi kaidah jurnalistik;
  • Negara perlu menjamin perlindungan bagi jurnalis dan media dari praktik pemidanaan  dengan pasal-pasal karet di dalam UU ITE atas berita atau pernyataan di media sosial yang secara legal memenuhi kebebasan berekspresi;
  • Negara perlu hadir untuk menjamin keamanan jurnalis dan media dari bentuk-bentuk pengancaman dalam bentuk doxing dan tindakan persekusi yang terjadi belakangan ini;
  • Negara perlu segera menghapus pasal-pasal karet UU ITE yaitu pasal 27-29 UU ITE yang multi-tafsir dan sering disalahgunakan untuk memidana media dan jurnalis sehingga mengancam kebebasan pers di Indonesia;

Bagi Media

  • Media perlu memenuhi standar kualitas pemberitaan dan kaidah jurnalistik agar kontrol sosial bisa terus berjalan atas jalannya pemerintahan dan kegiatan sosial, politik, ekonomi di Indonesia;
  • Media memberikan mekanisme hak jawab dan hak koreksi bila terjadi sengketa pers dan melibatkan Dewan Pers manakala terjadi upaya pemidanaan yang ditujukan kepada media dan jurnalis yang dinaunginya;
  • Media perlu memberikan pengetahuan bagi jurnalis agar terhindar dari praktik pemidanaan dengan pasal-pasal karet di dalam UU ITE atas berita atau pernyataan di media sosial;
  • Media perlu memberikan pelatihan teknis untuk melindungi jurnalis dari bentuk-bentuk ancaman baru dalam bentuk doxing dan tindakan persekusi di ranah digital;
  • Media perlu mendorong dihapuskannya pasal-pasal karet UU ITE agar tidak disalahgunakan untuk memidana media dan para jurnalis;

Bagi Komunitas Jurnalis

  • Komunitas Jurnalis perlu mengetahui dapat dipidanakannya anggota jurnalis dengan pasal-pasal karet UU ITE bila dianggap tidak memenuhi standar kualitas pemberitaan dan kaidah jurnalistik seperti yang dimaksud dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers;
  • Komunitas Jurnalis perlu waspada dan membekali diri dari perkembangan ancaman baru di ranah digital seperti doxing, peretasan data, serangan siber, hingga tindakan persekusi yang muncul belakangan ini;
  • Komunitas Jurnalis perlu mendorong diperluasnya perlindungan kebebasan pers dan Hak Asasi Manusia bagi jurnalis dan media online untuk menyikapi perkembangan teknologi digital yang tak terelakkan di masa depan;
  • Komunitas Jurnalis perlu mendorong dihapuskannya pasal-pasal karet UU ITE agar tidak disalahgunakan untuk memidana lebih banyak jurnalis dan media tempatnya bekerja;

Denpasar, 10 Januari 2018

Penyusun laporan: Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)


[i] Pernyataan Ketua Dewan Pers Stanley Aji Prasetyo, dimuat dalam artikel Media Indonesia, 9 Februari 2018. Diakses 15 Desember 2018 http://mediaindonesia.com/read/detail/144631-dewan-pers-indonesia-negara-dengan-media-massa-paling-banyak

[ii] Disampaikan Dewan Pers dalam artikel Merdeka, 8 Februari 2018. Diakses 15 Desember 2018 https://www.merdeka.com/peristiwa/dewan-pers-media-online-ada-43300-tapi-cuma-004-persen-yang-profesional.html

[iii] Pernyataan Ketua AJI Suwarjono, dimuat harian Republika, 23 Desember 2016 Diakses 15 Desember 2018 https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/23/oin8e5361-aji-sebut-baru-5-persen-media-online-terdaftar-di-dewan-pers

[iv] Pernyataan Menteri Komunikasi Rudiantara pada Hari Anak Nasional dimuat 27 Juli 2018. Diakses pada 15 Desember 2018. https://kominfo.go.id/content/detail/13616/850-ribu-situs-diblokir-konten-negatif-terus-muncul/0/sorotan_media

[v] Artikel penutupan Atjehpost.co sempat dimuat dalam tautan situswebnya. Pada 15 Desember 2018 sudah tidak bisa diakses lagi. http://atjehpost.co/m/read/22193/ATJEHPOSTco-Pamit-Untuk-Selamanya

[vi] The Intercept memuat tulisan Allan Nairn pada 19 April 2017 berjudul “Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” Diakses pada 15 Desember 2018 https://theintercept.com/2017/04/18/trumps-indonesian-allies-in-bed-with-isis-backed-militia-seeking-to-oust-elected-president/

[vii] Cerita penangkapan Muhammad Yusuf dimuat dalam Tirto.id pada 12 Juni 2018. Diakses 15 Desember 2018 https://tirto.id/cerita-istri-tentang-wartawan-yang-meninggal-di-lapas-kotabaru-cMcV

[viii] Rilis pers AJI tentang kasus Muhammad Yusuf pada 13 Juni 2018. Diakses 15 Desember 2018 https://aji.or.id/read/press-release/819/aji-menyesalkan-penerapan-pasal-pidana-kasus-muhammad-yusuf.html

[ix] SAFEnet mencatat kasus Zakki Amali di dalam situsweb pada November 2018. Diakses 15 Desember 2018. http://id.safenetvoice.org/2018/11/kasus-zakki/

[x] Rilis pers Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Persekusi Media dimuat dalam situsweb SAFEnet. Diaskes 15 Desember 2018. http://id.safenetvoice.org/2018/03/rilis-pers-pemaksaan-permintaan-maaf-tempo-oleh-fpi-menyalahi-kebebasan-pers-dan-berekspresi/