[Rilis Pers] SAFEnet: Tuntutan JPU Atas Kasus Dokter Otto Lemah

SAFEnet: Tuntutan JPU Atas Kasus Dokter Otto Lemah dan Mengabaikan Keterangan Saksi Ahli dan Fakta Persidangan

Pada persidangan hari Senin, 10 Juli 2017 JPU Rahmad Isnaini, SH. MH. menuntut terdakwa dr. Otto dengan tuntutan pidana 3 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara. SAFEnet menilai tuntutan JPU lemah dan mengabaikan keterangan saksi ahli dan fakta persidangan.

 

Jakarta, 10 Juli 2017 – Seorang dokter yang juga mengalami aksi persekusi, dr. Otto Rajasa, sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Balikpapan. Persidangan ini mengangkat persoalan hukum di mana dr. Otto Rajasa dilaporkan oleh Tri Muji Sulistianto dan Andriyuningsih ke Polres Balikpapan pada 17 Desember 2016 atas postingan dr. Otto tentang aksi 411 itu berikut dua postingan lain yang dibuat dr. Otto pada 14 Juni 2017 tentang persoalan orang kafir dan 4 Juni 2016 tentang puasa pada anak-anak. Mereka meminta dr. Otto Rajasa dijerat dengan Pasal 28 (2) jo pasal 45 (2) Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang ITE dengan ancaman pidana penjara enam tahun dan Pasal 156 (a) KUHP tentang Penodaan Agama dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Pada persidangan hari ini Senin, 10 Juli 2017 sekitar pukul 11.00 WIB Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmad Isnaini, SH. MH. menuntut terdakwa dr. Otto dengan tuntutan pidana 3 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara. Tentu saja, tuntutan pidana ini mengejutkan karena keterangan saksi ahli dan fakta persidangan justru membuktikan sebaliknya.

Setidaknya ada tiga alasan dari keterangan saksi ahli yang secara gamblang dinyatakan bahwa dr. Otto Rajasa tidak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan:

1. Postingannya berbentuk kritik sosial/satir.

Menurut ahli bahasa dan ahli agama, apa yang disampaikan dr. Otto tidak termasuk dalam penodaan agama.

“Jika dilihat secara ilmu, terdakwa ini menawarkan tafsir yang menurut ulama salah. Tetapi pada prinsipnya tidak masuk penodaan agama. Ini karena masuk dalam kategori ejekan, memandang hina, dan mengolok-olok secara terbuka. Dari posting-an tersebut, dia hanya mengutarakan pertanyaan yang kritis dan perlu jawaban dari ahlinya” – Saksi ahli Nahe’i, dosen Ma’had Aly Situbondo

“Saya melihat ini sebagai bentuk pragmatif. Artinya bisa ditafsirkan tergantung penerima atau yang membaca postingan tersebut. Lebih kepada idiolek, yakni ragam bahasa unik yang biasa digunakan individu bersangkutan. Saya beranggapan ini hanya sebagai bentuk kritik sosial beliau (Otto)” – Saksi ahli Yamin, dosen dan peneliti hukum Universitas Pancasila.

“Dari postingan terdakwa, saya melihat tidak memenuhi unsur sampai ke level penodaan agama. Itu hanya sebatas satir dan kritik yang bersangkutan. Tidak berdasarkan hukum Islam yang sebenarnya. Jadi menurut saya tidak bisa dikatakan penodaan agama. Saya juga berpendapat jika postingan ini tidak akan menimbulkan pengaruh kepada orang lain apalagi menyesatkan” – Saksi ahli Rumadi, ahli agama dan pidana.

2. Tidak adanya unsur “ditujukan” untuk menodai agama.

Dalam persidangan, saksi ahli pidana berpendapat unsur “dengan sengaja” tidak boleh dilepaskan dari konteks “ditujukan” dan apa yang disampaikan dr. Otto tidak ditujukan untuk menodai agama.

“Pasal 156a ini dimaknai double opzet karena ada kata “dengan sengaja dengan maksud” (lihat pasal 4 huruf a dan b PNPS Nomor 1 Tahun 65) Demikian juga dikaitkan dengan pasal 28 ayat 2 UU No 11 Th 2008 tentang ITE juga pasal ini dimaknai double opzet karena ada kata “dengan sengaja ditujukan.”

Kata “Dengan sengaja” dalam arti yang sempit yaitu sejak awal dia melakukan perbuatan dengan sadar dan menjadi target dia untuk menimbulkan kebencian. Pada ayat 2 itu ada kata “ditujukan”. Jadi tidak cukup orang itu sadar melakukan perbuatannya tetapi harus mengandung makna yang ditujukan untuk:
– menodai agama.
– menimbulkan kebencian
– permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu.” – Saksi Ahli Eva Ahjani Zulfa, S.H., M.H., ahli hukum pidana Universitas Indonesia

3. Tidak adanya bukti yang kuat.

Dalam persidangan, bukti yang diajukan hanya berupa screenshot yang disodorkan oleh Andriyuningsih dan tidak pernah diperlihatkan postingan yang dianggap menodai agama karena telah lama dihapus oleh dr. Otto.

“Seharusnya yang melakukan pengumpulan barang bukti dari Facebook adalah tim penyidik atau pihak berwenang. Memang bisa juga dari orang awam, tetapi perlu pembuktian. Ini untuk menghindari barang bukti yang dimanipulasi. Harus pakai metode tertentu, catatan teknis, dan membuat alat bukti apabila dicek pihak ketiga maka hasilnya sama”, dan “sedangkan dalam kasus ini, alat bukti informasi hanya berbentuk screenshoot di mana disebut posting-an asli telah tidak dapat diakses. Kalaupun menggunakan posting-an atau hasil repost dari orang lain, bisa digunakan tetapi ada syarat. Harus dicek laboratorium oleh ahli forensik digital. Selain itu, posting-an di media sosial yang dilakukan terdakwa bersifat terbatas di kelompok terbatas” – Sigit Widodo, saksi ahli informasi transaksi elektronik (ITE).

Oleh karena itu SAFEnet, jaringan penggerak kebebasan ekspresi di Asia Tenggara, menilai tuntutan JPU lemah karena yang dilakukan oleh dr. Otto Rajasa bukanlah tindakan pidana untuk menodai agama, melainkan haknya sebagai warga negara untuk menyampaikan pendapat. Di Indonesia, hak menyampaikan pendapat ini dilindungi oleh Pasal 28 (E) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

SAFEnet juga mengingatkan bahwa yang terjadi pada dr. Otto Rajasa adalah tindakan persekusi, dimana dalam penetapannya sebagai terdakwa telah didahului oleh serangkaian aksi intimidasi dan teror dalam bentuk persekusi yang bertentangan dengan Pasal 9 huruf (h) Undang-undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol). Negara wajib menjamin hak sipil dan hak politik setiap warga negaranya.

Oleh karena itu, SAFEnet berharap majelis hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan untuk bekerja imparsial, memeriksa dan memutuskan secara teliti setiap keterangan ahli dan fakta persidangan sehingga bisa cukup jelas melihat bahwa terdakwa dr. Otto Rajasa tidak melakukan tindak pidana penodaan agama dan karenanya layak dibebaskan dari tuntutan hukum.

Jakarta, 10 Juli 2017