Arah Tata-Kelola Internet Indonesia: Censorship, Surveillance, Defamation?

Dalam pengantar laporan tertulis kepada PBB yang ditulis oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekpresi, Frank La Rue, September 2013, dikatakan bahwa hambatan terhadap akses ke informasi dapat berpengaruh pada sejumlah hak mendasar, seperti hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tanpa akses ke informasi yang memadai, maka gagasan akan transparansi, akuntabilitas pejabat publik, pemberantasan korupsi ataupun partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, tidak akan pernah terwujud. Padahal, sebagaimana ditekankan oleh La Rue, sejumlah hal tersebut adalah persyaratan inti bagi pemerintahan yang demokratis.

Adapun peran Internet, pada laporan La Rue, Juni 2011, diyakini dapat menjadi medium yang memungkinkan terjadinya partisipasi publik dalam kerangka penyediaan informasi yang obyektif, khususnya di negara yang industri medianya tak independen. Dan memang, untuk di Indonesia jelas bahwa industri medianya berporos pada profit dan kekuasaan, serta memandang pemirsanya hanya sebagai konsumen belaka.

Di sisi lain, karakter Internet yang berlandaskan pada kecepatan dan jangkauan pendistribusian informasi, telah menimbulkan kerisauan bagi sejumlah pemerintah di berbagai negara. Masih tulis La Rue, kerisauan pemerintah tersebut kemudian termanifestasi dalam berbagai tindakan untuk memblokir konten, memata-matai (surveillance) dan mengidentifikasi aktifis dan mengkriminalisasi pendapat atau ekspresi yang sah. Dan pemerintah yang risau tersebut kemudian akan melansir regulasi dan/atau aturan pembatasan untuk melegitimasi tindakan-tindakan tersebut.

Di Indonesia sendiri, saat ini pemerintah berupaya untuk melakukan pemblokiran konten (censorship) di Internet dengan cara database yang tersentralisasi. Adapun draft Rancangan Peraturan Menteri (RPM) “Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif” sebagai landasan hukumnya, segera menempuh tahap uji publik. Walau belum resmi dilangsungkan uji publik, sejumlah organisasi masyarakat sipil telah mengajukan penolakannya.

Pun kita sudah berpengalaman dengan kesalahan pemblokiran yang dilakukan oleh sejumlah Internet Service Provider (ISP) atau operator sebagai ujung tombak dari ketidakjelasan regulasi pemblokiran konten selama ini. Beberapa contoh situs yang salah blokir semisal:

  1. MalesBanget.com (Agustus 2011). Sumber: MalesBanget.com, KapanLagi.com. Penyebab: ada kata “males” dan “bang”, dan masuk dalam daftar blacklist Trust+ Kemkominfo. Dugaan provider pemblokir: Axis, Indosat, 3, Telkomsel.
  2. IGLHRC.org / International Gay & Lesbian Human Rights Commission (Juli 2012). Sumber: Jakarta Globe, IGLHRC.org. Penyebab: kemungkinan karena ada kata “gay” dan “lesbian”. Dugaan provider pemblokir: Telkomsel, IM2, Indosat, 3, XL, Telkom Speedy.
  3. OurVoice.or.id (Juni 2013). Sumber: SuaraKita.org, GenderIT / VHR Media. Penyebab: situs dinyatakan masuk dalam daftar blacklist Trust+ Kemkominfo. Dugaan provider pemblokir: XL, Indosat, 3, Axis, Smartfren.
  4. CarFreeDay.com (September 2013). Sumber: Laporan langsung via email dari pengelola situs tersebut kepada penulis. Penyebab: kemungkinan karena domain tersebut pada 10 tahun lalu oleh pemilik lamanya, sempat digunakan sebagai situs pornografi. Dugaan provider pemblokir: Telkom Speedy.

Adaupun untuk surveillance, pada Maret 2013, sejumlah Internet Service Provider (ISP) ternama di Indonesia, yaitu Telkom, Biznet dan MatrixNet terindikasi di servernya terpasang perangkat yang dapat digunakan untuk memata-matai pengguna Internet di Indonesia. Dan pada September 2013, militer Indonesia diberitakan membeli teknologi surveillance dari perusahaan yang masuk dalam kategori “corporate enemies of the internet”, Gamma International.

Sedangkan untuk defamation, jelas keberadaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik di Internet yang tak kunjung direvisi, selama 5 tahun sejak berlakunya hingga kini, telah menjerat setidaknya 25 “korban”.

Posisi sikap pemerintah Indonesia atas Internet sebagai medium kebebasan berekspresi dan berinformasi, memang patut untuk dicermati. Sebab dalam sidang International Telecommunications Union (ITU) / World Congress on International Telecommunications (WCIT) tanggal 3-14 Desember 2012 di Dubai, Indonesia secara tidak langsung menyatakan dirinya berada dalam satu perspektif dengan Iran, Cina, Rusia dan Arab Saudi dalam konteks tata kelola Internet. Padahal ke-4 negara tersebut masuk dalam kategori “Internet Enemies” pada 2012, dan secara khusus Iran serta Cina pada 2013 dinobatkan kembali sebagai “Internet Enemies” karena getol memata-matai aktifitas online pengguna Internetnya .

Jadi, kemana arah tata-kelola Internet di Indonesia 2014?

 

DONNY BU

Aktivis SAFENET