Internews, Indonesia Corruption Watch, SAFEnet, dan Centre for Information Resilience berkolaborasi dalam investigasi terhadap upaya penyebaran disinformasi mengenai keberhasilan Otonomi Khusus (Otsus) Papua pada platform media sosial TikTok. Laporan investigasi ini dilakukan untuk mengetahui pola dalam proses penyebaran propaganda melalui inauthentic behaviour secara terstruktur pada TikTok sebagai sosial media berbasis audio visual.
Investigasi pola penyebaran propaganda yang spesifik pada Tiktok menjadi menarik sebab sosial media ini terbilang baru dan memiliki anak muda sebagai basis pengguna utama. Terlebih, belum ada penelitian yang mencoba menelusuri penggunaan operasi pengaruh (influence operations) dalam sosial media ini.
Narasi Otonomi Khusus Papua Barat
Isu Otsus Papua Barat merupakan isu yang kontroversial dalam wacana politik dan hak asasi manusia di Indonesia. Beredarnya informasi dan percakapan di dunia digital seputar topik tersebut – serta wacana politik Indonesia lainnya – yang terjadi secara tidak autentik atau merupakan hasil rekayasa menjadi suatu fenomena yang belum pernah diteliti sebelumnya.
Papua Barat sendiri memiliki sejarah kompleks, yang pada akhirnya berpuncak pada penguasaan formal oleh Pemerintah Indonesia atas wilayah tersebut. Pemerintah tampak lebih tertarik untuk mengendalikan gejala-gejala kerusuhan politik di wilayah tersebut, dibanding mengatasi akar penyebab kekhawatiran masyarakat.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah signifikan untuk membatasi informasi mengenai situasi di Papua Barat agar tidak sampai ke dunia luar. Di saat yang sama, ketegangan di wilayah tersebut tampak semakin meningkat. Akibat konflik ini, media sosial telah menjadi sumber informasi utama mengenai situasi di Papua Barat, dan pemerintah Indonesia mungkin berkepentingan untuk mengontrol narasi tersebut. Ada dua narasi mengenai Undang-Undang Otsus di Papua Barat yaitu narasi Pemerintah dan narasi pendukung kemerdekaan Papua Barat yang biasanya berasal dari masyarakat setempat.
Narasi masyarakat lebih menekankan tentang Otsus yang tidak berhasil dalam menyejahterakan warga Papua. Oleh sebab itu, beberapa waktu sebelum UU Otsus Tahun 2001 disahkan, penolakan tersebut muncul dari berbagai pihak di berbagai tempat di Papua baik mahasiswa, aktivis, DPR, hingga masyarakat lainnya. Penolakan muncul di Lanny Jaya, Manokwari, Yahukimo, Senayan, Jayapura, dan lainnya. Namun, beberapa aksi penolakan gagal dilakukan karena pembatasan dan penangkapan oleh pihak keamanan. Aksi yang tidak berjalan dengan mulus terjadi di Deiyai, Makassar, dan lainnya. Rakyat Papua melalui gabungan organisasi masyarakat sipil juga membentuk sebuah petisi bernama Petisi Rakyat Papua (PRP).
Narasi penolakan tersebut masih muncul hingga pemberlakuan Otsus Tahun 2021 yang justru lebih mengekang suara rakyat maupun Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam hal pemekaran di Papua atau pemberian Otonomi Baru. Undang-undang tersebut justru seakan memberi perintah untuk melakukan pemekaran sesegera mungkin. Pembangunan infrastruktur yang hanya bersifat simbolis semata, juga kerap dijadikan sebagai keberhasilan Otsus. Pemerintah bersikeras untuk memberikan Daerah Otonomi baru dan menganggap itu bisa membangun Papua. Narasi-narasi ini yang sebenarnya dikampanyekan terus dan muncul dalam investigasi yang dilakukan.
Untuk melanjutkan membaca Laporan Investigasi ini silahkan klik tautan berikut.